TEMPO.CO, Jakarta - Pada Kamis, 28 Juni 2018 di Jenewa, Swiss, telah diterbitkan sebuah protokol baru. Protokol tersebut adalah perjanjian internasional baru untuk menghilangkan perdagangan rokok gelap dan produk tembakau ilegal lainnya (The Protocol to Eliminate Illicit Trade in Tobacco Products). Apa yang perlu dicermati?
Protokol ini melibatkan 40 pihak dari seluruh dunia dan dikembangkan sebagai tanggapan atas perdagangan rokok ilegal dan produk tembakau ilegal internasional yang semakin meningkat. Perdagangan rokok gelap ini dikhawatirkan berdampak pada gangguan kesehatan, ekonomi dan keamanan di seluruh dunia. Diperkirakan bahwa satu dari setiap sepuluh batang rokok dan produk tembakau yang dikonsumsi secara global adalah ilegal. Sekretariat Pengendalian Tembakau atau WHO ‘Framework Convention on Tobacco Control’ (WHO FCTC) mengumumkan bahwa dengan ratifikasi oleh Inggris dan Irlandia Utara pada awal Juni 2018, maka Protokol untuk Menghapus Perdagangan Ilegal dalam Produk Tembakau mulai berlaku.
Pencapaian ini merupakan tonggak sejarah dalam pengendalian tembakau, karena protokol tersebut berisi berbagai langkah untuk memerangi perdagangan rokok gelap. Protokol tersebut terbagi dalam tiga kategori, yaitu mencegah perdagangan rokok gelap, mempromosikan penegakan hukum, dan menyediakan dasar hukum untuk kerjasama internasional.
Selain itu, protokol ini bertujuan untuk memutus rantai pasokan produk tembakau, yaitu melalui perizinan, uji tuntas dan pencatatan, dan keharusan pembentukan sistem pelacakan tembakau secara global. Dengan demikian, akan memungkinkan setiap pemerintah untuk secara efektif mengawasi dan menindaklanjuti produk tembakau dari titik produksi ke titik penjualan pertama sampai terakhir. Agar efektif, protokol ini menyediakan kerja sama internasional yang intensif termasuk dalam berbagi informasi, teknis, kerja sama, bantuan hukum, administrasi timbal balik, dan bahkan ekstradisi pelaku kejahatan antar negara.
Presiden COP (Conference of the Parties) yang sekaligus Menteri Kesehatan (Ministry of Health and Family welfare) India, Ibu Preeti Sudan, memuji pemerintah India yang telah mengupayakan dan memastikan Protokol yang baru mulai berlaku. Pemerintah India telah mengirimkan pesan bersama yang jelas bahwa pasar rokok gelap dan tembakau ilegal akan menjadi sasaran penertiban internasional, dengan berbagai langkah hemat biaya yang akan melindungi anak dan masyarakat yang dirugikan, baik secara sosial maupun kesehatan, karena terpapar produk tembakau.
Secara global 12 persen dari semua kematian pada orang dewasa dikaitkan dengan tembakau. Menurut ‘WHO global report: mortality attributable to tobacco pada 2014, sekitar 5 juta orang dewasa meninggal karena penggunaan tembakau langsung di seluruh dunia, yaitu satu kematian kira-kira setiap enam detik.
Dalam penyakit menular, penggunaan tembakau bertanggung jawab untuk sekitar 7 persen dari semua kematian karena tuberkulosis dan 12 persen kematian karena pneumonia atau infeksi paru-paru. Dalam penyakit tidak menular, penggunaan tembakau bertanggung jawab untuk 10 persen dari semua kematian akibat penyakit kardiovaskular, 22 persen dari semua kematian akibat kanker, dan 36 persen dari semua kematian akibat penyakit pada sistem pernapasan.
Secara global, kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan tembakau pada sistem kardiovaskular, lebih mungkin terjadi pada orang dewasa muda yang berusia 30-44 tahun, yaitu 38 persen kematian disebabkan oleh tembakau. Selain itu, 71 persen dari semua kematian akibat kanker paru dan 42 persen dari semua penyakit paru obstruktif kronik, juga disebabkan oleh penggunaan tembakau.
Implementasi Protokol ini merupakan langkah pertama untuk penghapusan perdagangan ilegal produk tembakau di seluruh dunia. Dr. Vera Luiza da Costa e Silva, Kepala Sekretariat FCTC WHO, menegaskan bahwa dengan berlakunya Protokol, maka ada satu lagi langkah global dalam pengendalian tembakau, yaitu dengan mengatasi aksesibilitas dan keterjangkauan produk tembakau. Selain itu, untuk tindakan yang lebih efektif, juga dilakukan pembatasan kemasan rokok dan mengurangi pendanaan kegiatan kriminal transnasional, sambil melindungi pendapatan pemerintah dari pajak tembakau, termasuk di Indonesia.
Saat kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Malang pada Februari tahun lalu, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan kontribusi yang diterima negara dari cukai rokok mencapai Rp 139 triliun per tahun. Pada 2013-2014 cukai tembakau global mencapai hampir US $ 269 miliar, tetapi hanya kurang dari US $ 1 miliar yang diinvestasikan pada pengendalian tembakau.
Padahal, secara global penyakit yang disebabkan oleh rokok telah menghabiskan biaya kesehatan US $ 422 miliar per tahun, hampir 6 persen dari pengeluaran global untuk kesehatan. Merokok berhubungan dengan 6 juta kasus kematian per tahun, lebih banyak dibandingkan kematian karena gabungan penyakit infeksi HIV, AIDS, TB dan Malaria. Total biaya ekonomi terkait merokok termasuk kerugian produktivitas karena kematian dan cacat, mencapai lebih dari US $ 1,4 trilyun per tahun, setara dengan 1,8 persen dari PDB tahunan dunia.
Protokol untuk menghilangkan perdagangan rokok gelap dan produk tembakau ilegal lainnya, mengingatkan kita semua akan dampak buruk tembakau terhadap kesehatan jantung (tobacco and heart disease), ekonomi dan keamanan. Sudahkah Anda terlibat membantu?
Tulisan ini sudah tayang di Dokterwikan