TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan ini ramai orang memperdebatkan soal Islam Nusantara. Ada yang mendukungnya karena ingin menjaga nilai-nilai luhur yang sudah ada di Indonesia sejak masa lalu, ada juga yang menolak karena dianggap hal ini dapat menodai kemurnian ajaran Islam.
Saya tidak mau masuk ke dalam perdebatan itu. Setidaknya untuk tulisan ini. Saya hanya ingin membahas sedikit soal letak dari nilai-nilai lokal dalam Islam.
Baca Juga:
Untuk memulai ini, saya ingin mengutip sedikit pendapat dari cendikiawan Muslim,almarhum Kuntowijoyo. Dalam salah satu bukunya (yang terbit jauh sebelum ramai-ramai soal Islam Nusantara dan setahu saya belum pernah diperdebatkan), beliau menggambarkan universalitas dan lokalitas Islam itu seperti permainan badminton atau olahraga apapun.
Di dunia manapun, peraturan dan cara menghitung permainan badminton atau sepakbola itu baku, ada standarnya. Soal gaya main berbeda antara pemain Indonesia dan Denmark itu masalah lain.
Di sepakbola, mau main pakai Total Football, mau pakai Tiki Taka, mau pakai gaya Panser Jerman yang menusuk lewat sayap, mau digocek dulu kayak pemain Amerika Latin, terserah. Yang penting semua dilakukan dalam koridor aturan yang dibuat FIFA.
Dalam berislam juga demikian. Soal salat, misalnya. Aturannya jelas, meski ada sedikit khilafiyah dalam detailnya. Dari Maroko sampai Merauke, orang salat dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, baca Al-Fatihah di setiap rakaat, dan lain sebagainya.
Tapi, kata Kuntowijoyo, mau kita salat pakai jubah, pakai sarung, pakai celana jins, gak masalah. Yang penting menutup aurat. Demikian juga dengan masjid. Asalkan suci dan menghadap kiblat, kita tidak perlu pusing oleh atapnya–mau berkubah atau pakai atap limasan gaya Jawa, sak karepmu.
Aturan salat (termasuk soal doa dalam salat yang berbahasa Arab) adalah hal universal yang tidak boleh diubah. Sedangkan bentuk masjid dan sarung atau jubah adalah kelokalan yang bisa berbeda-beda.
Salat dan haji adalah dua ibadah yang secara detil harus mencontoh Nabi SAW, termasuk dalam doa-doa di dalamnya. Bahkan dalam haji, kita harus meninggalkan baju lokal (sarung Melayu atau jubah Arab) dan memakai pakaian khusus. Beda dengan puasa, misalnya, yang meski ada ketentuan detail, tapi kita memiliki keluasan untuk menggunakan doa sendiri dengan bahasa apapun.
Saya kira, baik teman-teman yang pro atau kontra Islam Nusantara menyetujui hal-hal di atas. Kalaupun ada yang tidak disepakati, mari dibicarakan dengan kepala dingin dan keinginan untuk saling mengingatkan. Bukan dengan hati panas dan keinginan untuk saling menjatuhkan.
Tulisan sudah tayang di Almuslim