Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Heboh Susu Kental Manis, Awas Diabetes Mengancam

image-gnews
Susu Kental Manis (twitter BPOM )
Susu Kental Manis (twitter BPOM )
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta

Kontroversi susu kental manis yang diharuskan menghilangkan kata susu oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) beberapa waktu terakhir ini memang telah membuat kegaduhan. Tapi, jika dipikir-pikir,  kegaduhan itu sudah seharusnya terjadi sejak dulu.

Badan POM dituding sebagian masyarakat kurang responsif karena produk kental manis ini sebenarnya sudah beredar sejak lama. Kalau memang dipermasalahkan kenapa baru sekarang? Apakah Badan POM kecolongan? Banyak praduga yang terus bermunculan.

Terlepas dari itu, di sisi konsumen sendiri, masih banyak yang tidak sadar dan tidak mau tahu tentang kandungan gula yang mereka konsumsi. Bukan suatu kutukan atau cobaan dari Yang Maha Kuasa bahwa bangsa ini menduduki peringkat ketujuh sedunia dalam hal jumlah pasien diabetes. Dengan kata lain, orang-orang Indonesia yang secara tidak sadar mengutuk diri mereka sendiri.

Kita bisa tanya diri kita, seberapa banyak gula yang sudah masuk ke dalam tubuh setiap hari lalu dibandingkan dengan intensitas kegiatan fisik dan kebutuhan asupan gulanya? Apakah defisit, pas, atau surplus?

Saya sendiri dulu pernah merasa miris mendengar seorang lansia yang dengan bangga mengatakan ia masih sehat berkat olahraga dan minum susu. Usut punya usut yang dimaksudkannya dengan susu itu adalah susu kental manis cap tertentu.

Saya tidak sampai hati menyampaikan kepadanya bahwa susu itu berkandungan gula tinggi. Saat itu  sepertinya sulit meyakinkan orang awam bahwa kental manis itu bukan susu. Kata susu di kemasan cukup ampuh mencuci otak konsumen bahwa mereka sudah sehat dengan mengonsumsi itu. Ditambah dengan harga kental manis yang lumayan murah daripada susu sapi, pantas saja ia menjadi pilihan utama masyarakat berekonomi lemah.

Siapa saja yang tidak membaca label kandungan nutrisi dalam kental manis tetapi masih bisa merasakan dengan lidah yang ‘jernih’, pastinya bisa merasakan bahwa manisnya produk itu lumayan tinggi. Susu kental manis itu kalau diminum setiap hari dalam jumlah yang berlebihan dan tidak diiringi aktivitas fisik yang sepadan sepertinya akan mendatangkan lebih banyak penyakit daripada kesehatan.

Masalahnya, masyarakat kita kurang peka dengan gula karena mereka sudah telanjur dicekoki dengan gula yang banyak sejak kecil atau bahkan sejak lahir. Budaya menghidangkan minuman manis misalnya saat Lebaran sudah dianggap keharusan karena makin manis, artinya Anda makin dermawan pada para tetamu. Sirup pun diberikan dalam takaran yang tidak terkendali (bahkan selama puasa pun, pesta gula saban berbuka sudah dianggap lazim dengan berkedok pada dogma ‘berbukalah dengan yang manis’).

Budaya konsumsi segala macam yang manis terbukti membuat lidah orang Indonesia manja bahkan saat mereka berbuka mengonsumsi kurma yang bagi Nabi dahulu sudah manis. Saya pernah mendengar cerita dari orang tua saya, teman-teman mereka membuang kurma-kurma mahal yang mereka beli di Tanah Suci karena rasa kurma itu justru tidak manis. Cuma sepat atau agak pahit.

Untuk menegaskan asumsi saya bahwa konsumen Indonesia memang sudah gila gula, Anda bisa menemukan banyak produk kurma impor saat tiba di di Indonesia dikemas lagi dan sudah ditambahi (dicelup atau disalut) dengan sirup glukosa (yang artinya sama saja dengan gula pasir) untuk membuatnya lebih manis. Karena saya duga, bagaimana bisa kurma-kurma itu terjual kalau rasanya sepat atau agak pahit? Orang Indonesia mana suka?

Padahal dalam buah-buahan juga sebetulnya sudah ada kandungan gula alami yang lebih sehat (adanya serat membuat gula alami ini juga terserap lebih lambat sehingga aman bagi penderita diabetes sekalipun jika dikonsumsi secara wajar dan bijak). Jadi, Anda bisa bayangkan konyolnya kebanyakan masyarakat kita yang masih menambahkan gula pasir dalam jus buah-buahan yang sudah tinggi kandungan gula alami seperti mangga, pisang, jeruk.

Dan ini bukan cuma orang dewasa saja. Di bus Transjakarta, saya pernah mendengar percakapan seorang bapak yang membawa anak laki-lakinya yang mungkin baru berusia 5-6 tahun. Mereka tampak asyik menikmati pemandangan di luar, sementara si bapak membawa sebotol minuman teh kemasan yang saya tahu kandungan gulanya gila-gilaan. Kenapa saya memvonis kandungan gulanya gila-gilaan? Karena saya pernah minum seteguk saja dan tenggorokan saya langsung protes. Serak!

Di telepon genggamnya, tanpa rasa bersalah ia menjelaskan pada saudaranya di kampung bahwa dirinya sedang jalan-jalan dengan anaknya dan si anak ini memuaskan dahaganya di cuaca terik dengan meneguk dua botol minuman teh kemasan itu. Bayangkan! DUA! Saya satu teguk saja sudah tidak kuat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya berani taruhan orang tua yang belum sadar kesehatan semacam ini banyak di Indonesia. Jangankan mengawasi konsumsi gula anak-anak mereka, mengawasi takaran untuk mereka sendiri saja belum bisa. Makanya janganlah heran menemukan diabetes makin banyak dijumpai di kelompok usia muda bahkan anak-anak yang dulu jumlahnya lebih jarang.

MIRIS!

Untuk kandungan gula dalam produk makanan seperti biskuit, perhitungannya lebih rumit dari makanan besar. Kenapa? Karena entah kenapa alasannya, produsen menggunakan istilah “per sajian” (per serving) dan definisi sajian ini bervariasi, tergantung selera mereka sendiri. Ada yang mendefinisikan satu sajian itu tiga keping biskuit produknya, lalu yang lain berkata empat. Pokoknya tidak seragam.

Jadi, kalau makan sebungkus biskuit, sangat mungkin konsumsi gula Anda sudah melebihi dari apa yang dicantumkan oleh si produsen. Misalnya, di kemasan ditulis kandungan gula 15 g. Nah, jangan beranggapan seluruh biskuit di kemasan itu kandungan gulanya cuma 15 gram. Telisik lagi informasinya. Lima belas gram itu per sajian yang dalam kurungnya apa? Nah, baru Anda kalikan dengan jumlah keping biskuitnya.

Katakanlah di dalam kemasan ada 10 keping biskuit. Lalu produsen memproklamirkan kandungan gula produk per sajiannya cuma 10 g dan definisi sajian menurutnya adalah 2 keping. Maka, kandungan gula total sebungkus biskuit itu adalah 50 g. Angka itu sudah mencapai ambang batas konsumsi gula harian yang disarankan Kementerian Kesehatan!

Tetapi yang namanya orang Indonesia, mana bisa makan biskuit saja sehari? Pasti ada 3 porsi nasi putih (nasi juga gula sejatinya!), dan es teh manis. Nah, sudah jelas gula yang masuk ke tubuh Anda berlebihan. Itu sehari saja. Kalau sudah menjadi kebiasaan, efeknya tentu bisa dibayangkan.

Saya tidak menuduh mengonsumsi makanan dan minuman kemasan yang disebut di atas pasti akan memicu diabetes, tetapi kita hanya perlu lebih berpikir bijak dalam mengonsumsi semua itu. Jangan minum semua itu selayaknya minum air putih (saya pernah kenal orang yang hampir tak pernah minum air putih dan sehari-hari minum kopi kemasan saja) atau memakan biskuit seperti makan sayur segar.

Namun, masyarakat kita banyak yang masih menggantungkan kesehatan pada pemerintah, artinya mereka cenderung berpikir,”Kan ini semua sudah dibolehkan beredar pemerintah, jadi pastinya sudah aman dan sehat dikonsumsi lah! Masak iya negara membiarkan rakyatnya sakit?” Ini yang mengkhawatirkan.

Sekali lagi, kita sebagai konsumen juga memiliki tugas untuk menjaga kesehatan diri sendiri. Tidak bisa manja, apalagi di negara yang pemerintahnya belum sepeduli itu dalam upaya pencegahan penyakit. Pemerintah baru mau keluar duit banyak kalau masyarakat sudah terkena penyakit. Buktinya, BPJS menjadi fokus upaya ‘peningkatan’ kesehatan masyarakat kita.

Upaya pencegahan belum populer dan masyarakat juga belum banyak yang tertarik kecuali yang sudah telanjur terkena penyakit. Padahal angka prevalensi diabetes melitus di negeri ini menurut catatan Kementerian Kesehatan naik dari tahun ke tahun. Parahnya lagi dari mereka yang sudah terkena, banyak yang tidak sadar punya diabetes mellitus sehingga mereka baru mengetahuinya begitu sudah mengalami komplikasi parah.

“Kenapa kok diabetes mewabahnya baru sekarang? Dulu kakek nenek kita makan manis-manis saban hari juga tidak kena diabetes?” Mungkin begitu gumam Anda. Masalahnya aktivitas fisik manusia modern sudah jauh menurun dan asupan mereka malah makin banyak. Orang-orang makin jarang bergerak (ke warung tetangga saja naik sepeda motor) tetapi ketersediaan pangan sudah makin baik (mau makan apa saja tinggal pesan di aplikasi daring). Dengan kata lain, surplus terus! Numpuk terus! Tidak pernah dibakar. Ya sudah, dut!

Tulisan ini sudah tayang di Akhlisblog

Iklan

Berita Selanjutnya



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


5 Penyebab Sulit Tidur pada Penderita Diabetes

1 hari lalu

Ilustrasi wanita alami kepala pusing saat bangun tidur. Foto: Freepik.com/Jcomp
5 Penyebab Sulit Tidur pada Penderita Diabetes

Ternyata lima masalah ini menjadi penyebab penderita diabetes sulit tidur.


Saling Mempengaruhi, Ini Hubungan Diabetes dengan Gangguan Tidur

1 hari lalu

Ilustrasi diabetes. Freepik.com
Saling Mempengaruhi, Ini Hubungan Diabetes dengan Gangguan Tidur

Penderita diabetes tipe 2 mengalami masalah gangguan tidur karena ketidakstabilan kadar gula darah dan gejala terkait diabetes.


10 Efek Mengonsumsi Makanan Manis Berlebihan, Bisa Picu Sel Kanker

4 hari lalu

Ilustrasi makanan manis seperti cupcakes. Unsplash.com/Viktor Forgacs
10 Efek Mengonsumsi Makanan Manis Berlebihan, Bisa Picu Sel Kanker

Ada banyak efek makanan manis yang tidak bagus untuk kesehatan, di antaranya bisa meningkatkan risiko diabetes hingga bertumbuhnya sel kanker.


10 Gejala Diabetes yang Perlu Diwaspadai, Salah Satunya Sering Haus

4 hari lalu

Gejala diabetes pada anak di antaranya adalah sering haus dan sering pipis. Kenali gejala lainnya agar mendapatkan penanganan yang tepat. Foto: Canva
10 Gejala Diabetes yang Perlu Diwaspadai, Salah Satunya Sering Haus

Diabetes adalah salah satu penyakit mematikan. Ketahui beberapa gejala diabetes yang perlu diwaspadai. Mulai dari sering harus hingga kesemutan.


Panduan Makan Sehat setelah Lebaran agar Gula Darah Stabil

5 hari lalu

Ilustrasi kue kering. ANTARA/Feny Selly
Panduan Makan Sehat setelah Lebaran agar Gula Darah Stabil

Berikut panduan porsi makan yang sehat untuk menjaga gula darah tetap stabil seusai Lebaran dari dokter penyakit dalam.


Tips Kontrol Diabetes untuk Hindari Gangguan Penglihatan

5 hari lalu

Ilustrasi diabetes. Freepik.com
Tips Kontrol Diabetes untuk Hindari Gangguan Penglihatan

Spesialis mata membagi tips mengontrol diabetes demi menghindari gangguan penglihatan dengan cara paling utama dan sederhana.


Inilah 5 Makanan yang Harus Dihindari Penderita Diabetes

8 hari lalu

Ilustrasi diabetes. Freepik.com
Inilah 5 Makanan yang Harus Dihindari Penderita Diabetes

Berikut makanan yang sebaiknya Anda hindari jika Anda menderita diabetes.


Anjuran Konsumsi Hidangan Lebaran bagi Pasien Diabetes

16 hari lalu

Ilustrasi kue lebaran. Facebook.com
Anjuran Konsumsi Hidangan Lebaran bagi Pasien Diabetes

Pasien diabetes perlu berhati-hati dalam memilih hidangan Lebaran untuk menjaga kadar gula darah tetap normal tanpa lonjakan.


Manfaat Buah Manggis bagi Penderita Diabetes, Begini Penjelasan Ilmiahnya

16 hari lalu

Ilustrasi buah manggis (Pixabay.com)
Manfaat Buah Manggis bagi Penderita Diabetes, Begini Penjelasan Ilmiahnya

Buah manggis dengan rasa asam manis cocok dikonsumsi penderita diabetes. Mengapa demikian?


Tips Olahraga Optimal Sembari Puasa Ramadan, Kapan Waktu yang Tepat?

25 hari lalu

Ilustrasi olahraga di rumah saat berpuasa. Shutterstock
Tips Olahraga Optimal Sembari Puasa Ramadan, Kapan Waktu yang Tepat?

Tak sekadar beraktivitas fisik, olahraga saat berpuasa Ramadan juga ada ketentuannya. Kapan waktu yang tepat dilakukan?