TEMPO.CO, Jakarta - Kampung Purus 3, Padang, Sumatera Barat, penuh cerita. Anak-anak tumbuh dalam kondisi lingkungan yang buruk dan meprihatinkan. Mereka sangat dekat dengan dunia kejahatan dan caci-maki sehari-hari. Gang sempit di pesisir Pantai Padang, Kota Padang, seolah membuat mereka sulit berkembang dan berkreativitas.
Hal tersebutlah yang melatarbelakangi Syuhendri bersama temannya, Yusrizal KW, mendirikan sebuah komunitas yang diberi nama Tanah Ombak. Komunitas Tanah Ombak resmi berdiri pada akhir 2014 dan diaktakan pada 2015. Padahal mulanya hanya komunitas seni.
Dalam perbincangan kami, Syuhendri menjelaskan, Tanah Ombak merupakan bagian ketiga dari fungsi yang ia lakukan di komunitasnya, yaitu fungsi sosial. Fungsinya lainnya ialah ekspresi dan pembelajaran. Dari fungsi sosial inilah ia mendirikan sebagai komunitas bernama Tanah Ombak. Sebelumnya, ia sudah mencoba mendirikannya di tempat lain. Namun kurang efektif karena lingkungan tersebut sudah mempunyai fasilitas yang cukup.
Keadaannya jauh berbeda dengan lingkungan di kampung nelayan yang memang butuh dukungan literasi. Tujuan komunitas ini sederhana, yaitu mengembangkan minat baca di kalangan anak-anak dan remaja. Sekaligus pula membuka ruangan literasi lingkungan untuk anak-anak, khususnya di perkampungan nelayan tersebut.
Dengan mengenalkan dunia baca dan literasi kepada anak-anak, kehadiran ruang baca Tanah ombak seolah menjadi lentera. Bisa dibilang, jauh dari pendidikan dan dekat dengan dunia hitam. Hal ini berdampak buruk bagi tumbuh kembang mereka.
Hendri mengatakan ada empat syarat untuk belajar di komunitas Tanah Ombak. Di antaranya tidak boleh berkata kasar,menjaga kebersihan, tidak boleh main fisik, dan belajar mendengar. Hendri menuturkan, sejak awal komunitas dibentuk, ia memperoleh penolakan dari warga setempat. Mereka mengangap komunitas tersebut merupakan lembaga sosial yang akan memberikan bantuan material kepada mereka. Namun ternyata tidak, sehinga warga setempat kecewa.Anak-anak komunita Tanah Ombak belajar di Rumah Baca Tanah Ombak, Padang, Sumatera Barat, Desember 2017 lalu.
Meski sering diintimidasi warga setempat, komunitas Tanah Ombak tetap berjalan dan berproses kreatif bersama anak-anak. Caranya melalui kegiatan-kegiatan yang diadakan. Karena itu, seiring berjalannya waktu, sosialisasi kepada masyarakat berjalan begitu saja dan masyarakat setempat mulai menerima kehadiran komunitas Tanah Ombak.
Di Tanah Ombak, anak-anak belajar membaca, menggambar, dan menulis. Inilah proses kreatif. Semua kegiatannya diwujudkan dalam bentuk kesenian, teater,musik dan dongeng. Hendri mengungkapkan, anak-anak wajib membaca buku minimal 15 menit sehari.
Anak-anak usia lebih dari 10 tahun juga diajari menulis. Bahkan, mereka juga sudah mempunyai buku puisi, esai, dan prosa. Berbekal ilmu seni di bidang teater, Hendri mengajak siapa pun untuk berkesenian. Khususnya anak-anak di sekitar Kampung Nelayan Pantai Padang.
Hendri berusaha membuat momen yang membuat anak-anak betah untuk berkreativitas melalui kesenian. Setiap hari, ruang baca Tanah Ombak ramai dikunjungi anak-anak yang ingin belajar atau sekadar bermain. Banyak relawan datang untuk mengajar di sana. Mulai mahasiswa hingga seniman.
Sementara itu, pada Minggu, mereka dilatih membaca, menulis, dan berbahasa Inggris. Setiap Sabtu malam pun digelar kegiatan seni. Tidak hanya untuk anak-anak, komunitas Tanah Ombak saat membuka kegiatan literasi untuk orang tua. Mereka diajak belajar mengaji tiga kali dalam sepekan. Komunitas Tanah Ombak juga mempunyai Vespa Pustaka yang akan mengunjungi pembaca-pembaca dengan lingkungan mirip kampung nelayan tersebut.
Meski baru seumur jagung, komunitas Tanah Ombak mampu meraih berbagai penghargaan. Di antaranyajJuara 1 regional Sumatera Gramedia Reading Community Competition 2016, peraih Anugerah Literasi Minang Kabau 2016 sebagai Komunitas Terbaik 1 Sumatera Barat dari Gubenur Sumatera Barat, serta peraih terbaik Festival Teater Anak-anak Nasional 2014 di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Bagi Hendri, anggota komunitas Tanah Ombak adalah anak-anak hebat. Mereka tidak pernah ikut teater, tidak tau seni, tapi memiliki tekad. Mereka pun mau berkarya. “Proses ini mengalir saja. Intinya bukan untuk minggu depan, bulan depan, tapi 10-20 tahun medatang. Konsepnya hanya sederhana mencoba menciptakan anak-anak yang mencintai buku dan mengasah karakter ke arah yang lebih baik, “ ujar Syuhendri pada akhir Desember lalu.
Hambatan seperti kemalasan dan kurangnya dukungan dari masyarakat bukan rintangan bagi komunitas Tanah Ombak untuk menciptakan benih-benih kebaikan melalui nilai-nilai pendidikan serta seni-budaya yang diajarkan. Syuhendri menganggap masa depan anak-anak adalah tanggung jawab bersama. “Ini adalah pekerjaan bersama. Mari dukung bersama-sama,” tutur Syuhendri
Tulisan ini telah tayang di Junidswords