TEMPO.CO, Jakarta - Ada sejumlah hal yang selama ini tidak tersentuh dan tidak boleh disentuh, karena dianggap sebagai ajaran agama Islam. Yang menyentuh bisa dianggap menghina Islam, melakukan penodaan agama, atau menghalangi ibadah. Padahal hal-hal tersebut bukanlah bagian dari agama, tidak berpengaruh pada dosa dan pahala. Apa saja itu?
1. Memotong hewan di masjid.
Memotong hewan kurban saat Idul Adha atau beberapa hari setelahnya memang disunahkan. Hal ini untuk meneladani Nabi Ibrahim AS yang bersedia mengorbankan anaknya, Ismail, untuk membuktikan ketaatannya pada Allah SWT.
Belakangan ini, makin banyak umat Islam yang melaksanakan sunah ini. Alhamdulillah. Itu artinya, makin tinggi kesadaran masyarakat untuk berkurban. Kedua, ini juga membuktikan bahwa taraf ekonomi umat Islam semakin baik.
Masalahnya, belakangan ini sering terjadi pemotongan hewan dilakukan di kompleks atau halaman masjid. Padahal, tidak ada anjuran atau bahkan keharusan untuk memotong hewan kurban di kompleks (halaman) masjid.
Hal ini dilakukan, sebenarnya, karena kepraktisan. Banyak umat yang menitipkan pemotongan hewan di masjid. Dengan dipotong di masjid, maka panitia tidak perlu membawa hewan kurban ke tempat pemotongan hewan yang mungkin jaraknya tidak dekat.
Tapi, kepraktisan itu harus mengorbankan hal lain yang lebih besar, yaitu kesehatan dan kenyamanan orang-orang yang beribadah di masjid. Kotoran dan urin hewan yang tercecer di halaman masjid semasa masih hidup, serta darah yang muncul setelah dipotong, tentu menjadi sarang bakteri dan penyakit berbahaya. Belum lagi bau yang ditimbulkan dan lalat yang datang hingga mengganggu mereka yang shalat dan beribadah di masjid.
Hal ini sebenarnya pernah dilarang oleh sejumlah pemerintah daerah, sayangnya larangan itu ditanggapi dengan sensitif. Pelarangan itu dianggap sebagai cara untuk menghalangi umat Islam melakukan ibadah.
Padahal, di sejumlah negara Islam, bahkan Arab Saudi, pemotongan hewan tidak dilakukan di masjid. Jamaah haji yang harus berkurban disediakan tempat khusus.
Memotong hewan di masjid tidak menambah pahala, dan memotongnya di TPH juga tidak menimbulkan dosa.
2. Pengeras suara untuk ibadah.
Azan memang diperintahkan untuk memanggil umat Islam shalat. Bahkan Nabi SAW punya muazin favorit untuk melakukannya. Tapi, azan dengan pengeras suara bukanlah bagian dari agama. Pengeras suara elektronik hanyalah membantu proses ini. Memakainya tidak menambah pahala, tidak memakainya juga tidak dosa.
Masalah jadi timbul saat pengeras suara digunakan dengan tidak bijak. Selain azan (yang biasanya sudah dimaklumi), pengeras suara juga kerap digunakan untuk ibadah lain, seperti shalawat dan puji-pujian sebelum azan, salat berjamaah, doa setelah salat, bahkan pengajian.
Penggunaan yang berlebihan ini yang jadi masalah, karena tidak hanya mengganggu umat lain, tapi juga umat Islam sendiri. Di rumah masa kecil saya di kampung, kami hampir tidak bisa melakukan aktivitas lain saat Ramadhan karena sepanjang malam pengeras suara digunakan dengan kencang untuk tarawih dan tadarusan hingga tengah malam.
Meski bukan bagian dari agama, meminta orang untuk bijak menggunakan pengeras suara juga bisa ditanggapi dengan emosional. apa yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara, adalah contohnya. Bahkan imbauan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan hati-hatipun ditanggapi negatif dan menganggap pemerintah menghalang-halangi ibadah. Padahal yang diminta dikendalikan adalah penggunaan pengeras suara, tidak dilarang. Bahkan tak ada larangan untuk adzan.
3. Memakai peci menuju pengajian.
Kepala tidak termasuk aurat. Meski demikian, penggunaan peci oleh sejumlah ulama disarankan dalam salat untuk mencegah jatuhnya rambut menutupi jidat saat sujud. Di luar itu, tak ada anjuran atau saran. Kalaupun ada, itu bersifat ‘urf atau kebiasaan (adat).
Memakainya di luar salat tentu sah-sah saja. Masalahnya, peci kerap dipakai di tempat yang tidak seharusnya, seperti saat naik sepeda motor. Dengan alasan ingin ke pengajian atau ke masjid, sejumlah orang memakai peci saat naik motor dan tidak memakai helm.
Selain melanggar aturan, hal ini juga membahayakan diri mereka sendiri. Tapi, tidak ada yang bisa mengingatkan mereka. Bahkan polisi sekalipun takut menilang rombongan jamaah pengajian yang tidak memakai helm dan hanya memakai peci.
4. Ugal-ugalan saat membawa jenazah.
Kita tentu sering melihat dan sering dongkol dengan rombongan pembawa jenazah yang ngebut, ugal-ugalan, menerobos lampu merah, menyetop perempatan. Jangan ada yang berani melawan, kalau tidak ingin mobil digebrak.
Betul, ada perintah dari Nabi SAW untuk menyegerakan pemakaman. Tapi, menyegerakan berbeda dengan terburu-buru. Konteks menyegerakan di sini adalah karena Islam tidak ingin jenazah terlalu lama (berhari-hari) didiamkan di rumah duka. Selain memperpanjang duka, hal itu juga tidak baik untuk kesehatan orang sekitar. Kalau masih memungkinkan, pemakaman dilakukan di hari yang sama.
Pada saat pemakaman sendiri, prosesnya harus dilakukan dengan khidmat dan khusyuk. Harus tenang. Hal ini sesuai dengan cara Allah SWT memanggil orang-orang yang telah meninggal: “Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan kerelaan. Maka masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku, masuklah ke surga-Ku.”
Bagaimana kita bisa meneladani ayat itu kalau pemakaman dilakukan dengan grusa-grusu?
Tulisan ini sudah tayang di Almuslim