Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Afrika di Ujung Pulau Jawa

Reporter

image-gnews
Wisatawan menaiki perahu menyusuri sungai di Mangrove Bedul, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, 9 Janauri 2016. Hutan ini sering dikunjungi wisatawan yang ingin menyaksikan pemandangan mangrove dan mengamati burung terutama saat musim migrasi. ANTARA/Zabur Karuru
Wisatawan menaiki perahu menyusuri sungai di Mangrove Bedul, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, 9 Janauri 2016. Hutan ini sering dikunjungi wisatawan yang ingin menyaksikan pemandangan mangrove dan mengamati burung terutama saat musim migrasi. ANTARA/Zabur Karuru
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Sejauh mata memandang, padang rumput menguning pertanda musim kemarau. Di kejauhan, gerombolan hewan berkaki empat sedang asyik berkumpul. Sejumlah pohon pun juga menghiasi padang ini. Inikah Afrika?

 

Siang hari itu, rasa bosan muncul. Setelah menyusuri pantai sejauh 12 km, semua berkumpul di sebuahdesa yang bernama Kalipait. Entah mengapa namanya demikian. Suasana desa itu tak terlalu ramai. Cenderung sepi. Hanya beberapa warga berlalu lalang. Tak jelas apa yang hendak dilakukannya. Kemudian wacana terlempar.

Ayo keluar lah. Kita foto-foto di Sadengan. Katanya bagus.” ucap saya kepada Satria.

Ayoo! Pinjem motor dulu.” seloroh mengamini ajakan saya.

Gampang. Pinjem aja motor Tole.” jawab saya sambil beranjak keluar dari teras rumah.

Sementara yang lain masih bersantai dan beristirahat bak turis di dalam rumah setelah bertualang di hutan rimba. Rumah yang beratapkan genteng berbahan tanah itu menampung sekitar 60 orang. Rumah tersebut terbagi dua bagian, masing-masing yaitu bagian dapur dan bagian rumah inti. Di bagian dapur, interior masih dapat dikatakan tradisional. Tiang-tiang penyangga terbuat dari kayu jati. Konon menurut empunya rumah, berasal dari hutan produksi di Alas Purwo di Taman Nasional Baluran, Banyuwangi. Untuk urusan memasak, masih menggunakan tungku kayu bakar. Lantainya pun masih dari tanah.

Sebuah motor produksi Jepang pun segera dinyalakan. Tak perlu diselah, cukup menekan tombol starter. Segera Satria menyergap naik. Kami berdua segera meluncur meninggalkan persinggahan. Matahari berada di titik kulminasinya membuat nyali agak ciut. Masih terngiang rasa terbakar oleh sinarnya kala menyusuri pantai. Namun beberapa saat setelah menyusuri jalan pedesaan, saya agak terhibur. Lipatan daun-daun pohon jati cukup menghambat datangnya sinar. Selain itu, proses respirasi menjadi maksimal. Semua berkat pepohonan rimbun di TN Alas Purwo yang menghasilkan oksigen.

Sebelumnya lagi-lagi saya harus membelah lebatnya hutan tertua di Pulau Jawa. Putaran roda agak melambat. Bukan karena macet seperti lalu lintas di Jakarta. Jalan berlubang memaksa saya untuk memperlambat laju sepeda motor. Cerita-cerita mistis mulai membaluri pikiran kami. Bukan rahasia lagi jika Alas Purwo terkenal dengan cerita mistisnya. Menurut warga sekitar dan orang-orang yang saya temui sepanjang perjalanan, mereka selalu bercerita tentang cerita tentang orang yang bertapa di tengah rimbunnya hutan Alas Purwo. Bahkan, mereka ada yang sampai 16 tahun bertapa di dalam gua. Bayangkan jika tiba-tiba saya tersasar di dunia gaib. Namun perasaan itu buru-buru saya usir dengan gelak tawa sepanjang perjalanan.

Hampir selama 30 menit, roda-roda motor melintasi jalan yang didominasi tanah gembur. Hanya sedikit aspal. Di kiri kanan jalan hanya ada pepohonan yang menjulang tinggi. Sesekali dapat bertemu dengan warga sekitar. Kepala dianggukkan seraya mengucapkan permisi. Satu-satunya warung hanya dapat ditemukan di sebelah kiri jalan sebelum memasuki Pos Rowobendo. Itupun bukan seperti yang dibayangkan. Tak ada lampu yang menyala terang benderang. Hanya menggunakan satu lampu bohlam. Atapnya pun nyaris rubuh. Sudah pasti tiang-tiang penyangganya berasal dari kayu-kayu pohon di Alas Purwo.

Ini pusing juga ya Sat kalo ban bocor di tengah hutan ini.” seloroh saya kepada Satria.

Iya. Dorongnya PR juga. Belom kalo malem bocornya. Huh.” jawabnya sambil tertawa.

Langsunglaah yok.” ajak saya sambil tancap gas ketika memasuki jalan yang beraspal.

Seekor replika burung merak bertengger di sebuah gapura berwarna hijau. Kiri-kanannya dikawal batu-batu mirip candi. Di tengahnya bertuliskan “Selamat Datang di Taman Nasional Alas Purwo”. Jelas ini adalah gerbang masuk dekat Pos Rowobendo. Untuk sekali dan seumur hidup, saya berfoto di gapura tempat pusat mistis di Pulau Jawa ini. Perbincangan mistis kembali bergulir bak putaran bola di lapangan hijau. Apakah benar ini pintu masuk menuju dunia gaib yang dulunya membuat manusia mati? Ah saya bukan ingin pergi ke dunia gaib. Saya ingin pergi mengunjungi Sadengan. Yang banyak orang bilang seperti di Afrika.

Sebelum saya menuju Sadengan, sebentar mampir ke sebuah aula di dekat Pos Rowobendo. Tak jauh dari situ pula terdapat persimpangan jalan menuju ke Pantai Ngagelan, tempat 4 dari 6 jenis penyu Indonesia mendarat dan bertelur. Namun saya tak sempat mampir ke sana melainkan di sini untuk menjemput dua orang teman yang sedang bertugas menjadi tim komunikasi untuk tim penelitian di Situs Gunung Tugu. Di depan pelataran aula, terparkir dua buah motor operasional TN Alas Purwo. Modelnya semi trail. Ban depannya lebih besar daripada ban belakang. Motor besutan Shozo Kawasaki ini segera menjadi tunggangan kami berempat. Tak banyak pikir, kami pun segera tancap gas.

Kini, saya dan Satria tak perlu risau lagi akan kesepian melintasi hutan. Gelak tawa makin ramai. Perbincangan sempat terhenti kala melewati kompleks Situs Kawitan dan Pura Luhur Giri Salaka. Kami kembali melingsirkan wacana untuk mampir.

Ini pura yang terkenal itu tuh. Katanya yang tertua.” ucap saya sambil menunjuk Situs Kawitan.

Nanti aja. Pulang dari Sadengan.” jawab Satria.

Okelaah.” ujar saya sambil kembali membetot gas.

 

Motor yang berkapasitas 150 cc ini kembali meluncur di jalan yang berbatu. Tanpa hambatan menerabas jalan. Tekstur ban yang bergelombang mempermudah perputaran roda. Kemudi diarahkan lurus hingga pada akhirnya berjumpa sebuah pertigaan. Papan bertuliskan “Padang Penggembalaan Sadengan” beserta petunjuk arah tertancap sebagai penanda. Segera kemudi motor dibelokkan. Masih satu kilo lagi untuk mencapai tempat yang disebut seperti di Afrika. Rasanya tak sabar untuk menjejak. Ini adalah kali pertamanya akan menginjak tanah Sadengan.

 

Dua puluh menit kemudian, sebuah menara pemantau berbahan kayu terlihat. Kira-kira 15 meter tingginya dengan lantai dua tingkat. Sepeda motor memasuki pelataran Pos Sadengan. Padang savana itu dipisahkan oleh pagar setinggi setengah meter. Mendadak takjub dibuatnya. Hamparan padang rumput membentang. Hijau agak keunguan. Jika membayangkan padang rumput di film God Must Be Crazy, dapat dibilang serupa. Banyak satwa liar yang berada di sini.

Afrika bangeet bro!! Sadis. Mana bantengnya?” ujar saya takjub.

Tunggu sabar. Nanti sore pada keluar.” jawab Satria.

Tiga buah rumah berdiri sebagai tempat operasional para petugas taman nasional. Dua buah papan informasi terpampang di muka. Kami melihat-lihat sejenak hingga akhirnya tiga orang petugas TN Alas Purwo menyambut dan mengajak kami ngobrol.

Dari Mapala UI ya de?” tanya salah satu petugas taman nasional yang kira-kira berumur paruh baya.

Iya pak. Binatang-binatangnya belum keliatan ya? tanya Satria.

Iya nih pak. Padahal udah sore ya?” tambah saya.

Biasanya sih binatang-binatang keluar pagi sama sore. Jam enam sampe sembilan pagi sama jam setengah empat sampe jam lima sore. Itu biasanya banteng keluar untuk minum.” jelasnya.

Oh gitu Pak. Baik pak minta izin ya buat foto-foto di dalam.” kata saya meminta izin.

Silakan dik” jawabnya.

Padang Penggembalaan Sadengan merupakan salah satu tempat beraktifitas para satwa. Berdasarkan informasi yang dikutip dari website TN Alas Purwo, satwanya beragam mulai dari jenis burung, Kijang, Rusa, Banteng, Babi Hutan, Lutung dan lain-lain. Dari 302 jenis burung yang ada di Taman Nasional Alas Purwo beberapa family terdapat di Sadengan seperti Elang Jawa, Elang Ular Bido, Elang Ikan Kepala Kelabu, Elang Laut Perut Putih, Peregam, Srigunting, Ayam Hutan Merah, Jalak Putih, Bangau Sendang Lawe, Blekok Sawah, Merak Hijau, dan masih banyak lagi.

Seperti mendapat durian runtuh, saya dapat melihat hewan yang mempunyai nama latin Bos Javanicus ini. Dari kejauhan, hewan berkulit coklat dan putih pada bagian pantatnya ini nampak berkerumun. Sekitar 10 ekor dalam kerumunan itu. Di samping kerumunan itu juga tampak dua ekor burung yang sedang minum di sebuah aliran air. Segera saja saya mengendap-endap agar sang banteng tak sadar akan kehadiran manusia di habitatnya ini. Itu bantengnya Sat. Pelan-pelan bro, nanti kabur.” bisik saya pada Satria.

Bak detektif yang sedang mengamati target operasi, kami melangkah perlahan menembus rerumputan. Dengan “senjata” di tangan, saya membidik sang target dari kejauhan. Sang target berhasil saya bekukan. Beberapa bukti berhasil saya dapatkan. Tak puas, kami lanjut menyusuri padang rumput ini. Semakin dekat dan sang target rasanya mulai menyadari kehadiran endapan si manusia. Terkadang langkah kami hentikan sesaat. Nafas berhenti beberapa detik. Namun mereka seperti berbincang dan sepakat untuk pergi masuk kembali ke dalam hutan. Tebakan saya benar beberapa saat kemudian mereka mulai menghilang satu persatu.

Niat untuk meringkuk “target” selanjutnya pun gagal. Sang target tak kunjung muncul. Si burung merak mungkin malu untuk menunjukkan keindahannya. Burung yang memiliki nama latin Pavo muticus biasanya dapat ditemukan. Menurut para petugas TN Alas Purwo, biasanya si merak keluar ketika sore hari. Namun kali ini bukan hari keberuntungan saya. Kami segera beranjak untuk meninggalkan padang savana bak Afrika ini. Walaupun tak berhasil bertemu dengan si merak, tapi saya cukup puas dapat melihat si Banteng Jawa.

 

Tulisan sudah tayang di Inisayadanhidupsaya

Iklan

Berita Selanjutnya



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


126 Ribu Wisatawan Berkunjung ke Banyuwangi Selama Libur Lebaran

9 jam lalu

Pantai Pulau Merah Banyuwangi, Jawa Timur (TEMPO/Lourentius EP)
126 Ribu Wisatawan Berkunjung ke Banyuwangi Selama Libur Lebaran

Destinasi yang paling banyak dikunjungi di Banyuwangi selama libur Lebaran salah satunya Pantai Marina Boom


Digelar Tujuh Hari, Tradisi Seblang Olehsari di Banyuwangi Dipadati Pengunjung

1 hari lalu

Penari Seblang mengenakan omprok (hiasan kepala) dari janur, daun pisang muda, dan hiasan bunga segar untuk menutup kepala dan wajah. Tradisi ini digelar 15-21 April 2024 (Diskominfo Kabupaten Banyuwangi)
Digelar Tujuh Hari, Tradisi Seblang Olehsari di Banyuwangi Dipadati Pengunjung

Seblang merupakan salah satu tradisi adat suku Osing di Banyuwangi dalam mengejawantahkan rasa syukurnya.


Komnas HAM Ungkap Warga Desa Pakel Kecewa dengan Pemda Banyuwangi, Polres, dan PT Bumisari

11 hari lalu

Anis Hidayah, komisioner Komnas HAM turun ke Pakel Banyuwangi, terkait konflik lahan antara warga dengan PT Bumisari. Istimewa
Komnas HAM Ungkap Warga Desa Pakel Kecewa dengan Pemda Banyuwangi, Polres, dan PT Bumisari

Komisoner Komnas HAM Anis Hidayah turun untuk meninjau lokasi dan situasi konflik lahan di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi.


Buatan Dalam Negeri, Kapal Angkatan Laut Sembulungan Perkuat Pengamanan Selat Bali

16 hari lalu

Kapal Angkatan Laut (KAL) Sembulungan II-5-42. Foto: Humas Banyuwangi
Buatan Dalam Negeri, Kapal Angkatan Laut Sembulungan Perkuat Pengamanan Selat Bali

Kedatangan kapal baru Kapal Angkatan Laut Sembulungan II-5-42 menambah kekuatan pengamanan laut di Banyuwangi, salah satu pintu masuk Pulau Jawa.


KKP Bangun Kampung Nelayan Modern di Banyuwangi, Sedot Anggaran Rp 22 Miliar

18 hari lalu

Ilustrasi nelayan. TEMPO/Dasril Roszandi
KKP Bangun Kampung Nelayan Modern di Banyuwangi, Sedot Anggaran Rp 22 Miliar

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan membangun Kampung Nelayan Modern (Kalamo) di Pantai Ancol Plengsengan, Kelurahan Lateng, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi. Proyek ini akan menyedot anggaran sekitar Rp 22 Miliar.


Tidak Ditenggelamkan, Dua Kapal Illegal Fishing Diserahkan ke Nelayan Banyuwangi

20 hari lalu

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam acara Pertemuan Nasional Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial di Kantor KKP, Jakarta Pusat pada Selasa, 19 Maret 2024. Tempo/Aisyah Amira Wakang
Tidak Ditenggelamkan, Dua Kapal Illegal Fishing Diserahkan ke Nelayan Banyuwangi

Menteri KKP Wahyu Sakti Trenggono menyerahkan dua kapal illegal fishing ke nelayan di Banyuwangi, Jawa Timur.


Warga Desa Pakel Banyuwangi dan PT Bumisari Saling Lapor, Ini Kata Polisi

20 hari lalu

Warga Desa Pakel, Banyuwangi, saat berunjuk rasa di depan Pengadilan Tinggi Surabaya di Jalan Sumatera, Surabaya, Rabu, 13 Desember 2023. Dok TeKAD GARUDA
Warga Desa Pakel Banyuwangi dan PT Bumisari Saling Lapor, Ini Kata Polisi

Polresta Banyuwangi menargetkan kedua belah pihak berdamai dan situasi kamtibmas khususnya di Desa Pakel kondusif.


Petani Desa Pakel Banyuwangi Dilaporkan Balik oleh Satpam PT Bumisari atas Dugaan Pengeroyokan

21 hari lalu

Peserta aksi mogok makan menuntut pembebasan tiga petani pakel yang ditangkap secara paksa, aksi ini berlangsung di depan Kementerian Agraria dan tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional, Jakarta Selatan, Senin, 20 Februari 2023. Mulai pukul 10:30, massa mulai aktif membentangkan poster tuntutan sampai memajang surat pernyataan dari beberapa elemen yang terlibat. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Petani Desa Pakel Banyuwangi Dilaporkan Balik oleh Satpam PT Bumisari atas Dugaan Pengeroyokan

Konflik Agraria antara petani Desa Pakel Banyuwangi dan PT Bumisari makin berlarut-larut.


Pastikan Daging Aman Dikonsumsi Warga, Pemkab Banyuwangi Sidak Pasar dan RPH

22 hari lalu

Ilustrasi pedagang daging dan harga daging. getty images
Pastikan Daging Aman Dikonsumsi Warga, Pemkab Banyuwangi Sidak Pasar dan RPH

Dinas Pertanian dan Pangan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mendatangi pasar daging dan rumah pemotongan hewan (RPH), Kamis, 28 Maret 2014.


Polemik Pemutihan Lahan Sawit Ilegal di Kawasan Hutan, Ini Penjelasan Menteri Airlangga

22 hari lalu

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, saat ditemui di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa malam, 27 Februari 2024. TEMPO/Amelia Rahima Sari
Polemik Pemutihan Lahan Sawit Ilegal di Kawasan Hutan, Ini Penjelasan Menteri Airlangga

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan alasan pemerintah memutihkan lahan sawit ilegal di kawasan hutan.