TEMPO.CO, Jakarta - Setahun terakhir, saya belajar soal apa yang disebut dengan kesadaran manusia berkat meditasi. Kesadaran manusia adalah kemampuan yang membedakannya dengan binatang.
Manusia bisa berpikir bahwa ia sedang berpikir. Manusia bisa sadar bahwa ia merasakan sebuah emosi.
Menurut beberapa penulis, ini harapan buat manusia agar ia bisa berubah. Saya percaya. Apalagi setelah belajar tekniknya: meditasi.
Meditasi memanfaatkan kesadaran itu untuk mengendalikan diri. Caranya, dengan melatih diri tidak terpengaruh pikiran dan emosi.
Saya berlatih mengambil jarak dari persepsi dan emosi dua puluh menit setiap hari (ada hari yang bolong juga, sih).
Apa yang sebenarnya saya lakukan? Hanya menyadari semua yang terjadi di momen itu, baik yang ada di dalam pikiran, tubuh, maupun hal-hal di luar saya. Cukup menyadari, tanpa terperangkap.
Bayangkan semua pikiran, perasaan, sensasi di tubuh, dan semua yang terjadi di luar
saya seperti daun-daun yang jatuh di sungai.
Ada daun jatuh, saya melihatnya, tapi saya biarkan lewat saja.
Kadang ada gambar atau adegan dari masa lalu. Cukup saya sadari itu ada, lalu saya lepaskan. Dia pergi sendiri kok.
Kadang ada juga adegan yang saya bayangkan bakal terjadi di masa depan. Misalnya, saya harus ke ATM karena tidak ada uang tunai di dompet saya pagi itu. Cukup saya sadari, lalu biarkan dia lewat.
Saya tidak perlu terperangkap dalam adegan itu dan meneruskan ceritanya: setelah ambil duit di ATM, jalan sedikit ke warung indomie, lalu pesan indomie goreng jumbo pakai telur ceplok setengah matang, setelah itu ditanya si pacar tadi sarapan apa, lalu saya jawab indomie, lalu dia marah-marah karena katanya indomie itu enggak sehat, lalu saya juga marah karena saya baru makan indomie itu sekali setelah sebulan enggak makan, lalu dia bakal balik marah lagi, lalu saya mulai berargumen, dan seterusnya.
Tidak. Saya cukup menyadari ada pikiran itu. “Weits, ada kamu.” Lalu saya kembali memperhatikan pernapasan saya. Sumpah, itu pikiran beneran pergi, kok.
Sebab hukumnya begitu: tak ada yang abadi, baik pikiran maupun perasaan.
Nah, dengan menyadari itu, kita tahu bahwa kita tidak perlu bertindak berdasarkan perasaan-perasaan itu. Kita hanya menyediakan ruang yang luas untuk mereka hadir, tanpa harus terperangkap di dalamnya.
Buat saya, itulah kemerdekaan.
Saya masih sering banget gagal menjadi merdeka. Karena itu saya berusaha berlatih setiap hari.
Tulisan ini sudah tayang di Gadimakitan