TEMPO.CO, Jakarta - Media sosial kini menjadi ruang-ruang pameran para penggunanya. Mereka dengan gamblang menampilkan aktivitas sejak bangun tidur sampai tidur lagi di ‘ruang pamer’ miliknya. Ruang pamer ini untuk berburu love Instagram dan jempol Facebook pada setiap yang diunggah.
Dalam ruang tanpa sekat bernama media sosial semua orang merasa ditelanjangi dengan ribuan mata yang bisa saja melihatnya. Anehnya, bukan ketelanjangan (keaslian tanpa kamuflase) yang ditampilkan, namun memakai ‘badan’ orang lain, melihat orang lain dan meniru dengan cara masing-masing. Banyak orang yang tidak pede jika menjadi otentik diri sendiri, semua menjadi mengalir tanpa arah dengan meniru tren (orang lain).
Ketidakmampuan itu muncul dari tombol share, ‘wah, ini bagus, ku share ah’ dan percaya milik orang lain itu akan menjadi milikku. Ironisnya, apakah Mr. Share melakukan apa yang ia share? Apakah ia memang sedang mengecat rumah ketika share ‘Tips mengecat rumah’? atau ia memang sedang bertanam dan dengan itu mendapatkan informasi yang menarik lalu membagikannya?
Berbeda jika membagikan apa yang sesuai, jika ia arsitek maka tidak mengherankan media sosialnya penuh dengan kearsitekan. Masalahnya, kebanyakan membagikan apa yang tidak ia pelajari dan tidak ia lakukan. Bayangkan dalam satu akun terdapat segala macam informasi, yang tidak jelas pula asal tulisan itu. Demi eksistensi justru banyak orang melakukannya, latah share, dengan mudahnya klik share supaya mungkin dianggap keren.
Menurut Maslow, kebutuhan macam ini masuk pada Kebutuhan Sosial, setelah Kebutuhan Fisik (makan dan minum) dan Keselamatan (tempat tinggal). Sedangkan kebutuhan akan pengakuan sosial ini masih berada di bawah Penghargaan Diri (akademik, percaya diri, dan sejenisnya) dan Aktualisasi Diri. Bahasa sederhananya adalah setiap manusia memiliki kebutuhan dasar yaitu makan dan minum, setelah mendapatkannya baru membutuhkan rasa aman, setelahnya adalah posisi dimana Mr. Share berada, kebutuhan akan pengakuan.
Sayangnya, pengakuan sosial ternyata tidak datang dengan cara Mr. Share. Pengakuan itu datang dari apa yang dilakukan, sesuatu yang keluar dari dalam diri dan diberikan pada orang lain, bukan milik orang lain yang di klaim menjadi milik ku.
Maka, jika seoarang merasa gagal dan sadar akan kesalahan ini, ia akan melangkah pada tahap selanjutnya yaitu Penghargaan Diri dengan cara yang lebih elegan, menampilkan sesuatu dari dalam diri. Namun tahap ini pun belum cukup, sebab gerakannya untuk melakukan sesuatu adalah tetap seperti tahap sebelumnya, pengakuan. Jika ia lolos dari tahap ini dan masuk pada Aktualisasi Diri maka tidak ada lagi rasa khawatir apa penilaian orang lain, hanya mengerjakan yang mengaktualkan dirinya.
Maka saya menulis Pembagi tanpa Berbagi, sebab jika sungguh berbagi maka kita memberikan apa yang kita punya. Sebab: kita hanya bisa memberikan apa yang kita miliki. Cobalah berbagi yang benar-benar kita tahu di media sosial.
Tulisan ini sudah tayang di Yohanesbara