Belajar Tawakal dan Mencapai Target Hidup dari Gol Luka Modric
Reporter
Qaris Tajudin
Editor
Istiqomatul Hayati
Selasa, 10 Juli 2018 16:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kemarin saya bertemu dengan seorang kawan yang baru saja menata hidupnya menjadi lebih baik. Setelah melalui sebuah prahara, ia mendapat sebuah pencerahan yang membuatnya memutuskan untuk kembali ke jalan Tuhan. Istilah anak sekarang, dia berhijrah.
Sebenarnya saya kurang sepakat kata hijrah dipakai untuk mereka yang menjalani kehidupan yang lebih baik. Saya lebih senang memakai kata mendapat pencerahan. Karena, sebenarnya mereka tidak ke mana-mana, masih di tempat yang sama, tapi hidupnya lebih terang hingga bisa berbuat lebih baik.
Oke, itu hanya soal bahasa. Tidak usah terlalu dipermasalahkan. Kita kembali ke teman saya yang sedang duduk di sebuah kafe di Kebayoran Baru itu.
Dia menceritakan sejumlah perubahan yang terjadi pada dirinya. Tapi, yang menarik adalah perbedaan dia dalam memandang masa depan. Menurutnya, dia dulu adalah orang yang sangat terencana. “Saya punya target dan planning tahunan, lima tahunan, dan sebagainya. Semua sudah direncanakan dengan baik dan semua hal harus mendukung rencana tersebut,” kata dia.
Jika rencana berhasil, dia akan menepuk dada dan mengatakan bahwa ini semua adalah hasil kerja kerasnya. Dia tidak hanya mengesampingkan peran Tuhan, tapi juga mengecilkan peran orang-orang di sekitar yang mendukungnya.
Yang lebih gawat terjadi ketika gagal. Dia akan resah. “Saya dulu over-planned. Terlalu mengatur masa depan. Terlalu berencana.” Kini, menurutnya, dia lebih banyak menyerahkan segala urusan kepada Tuhan. “Biarkan Dia yang mengatur semuanya,” kata dia.
Saya sempat curiga dia beralih dari satu ekstrem (over-planned) ke ekstrem lainnya (super tawakal). Kita tahu, tawakal itu wajib, tapi berlebihan dalam tawakal juga dilarang. Rasulullah menggambarkannya seperti orang yang tidak mengikat kudanya dan pasrah pada Allah. Menurut Rasul, harusnya ikat dulu kuda itu baru tawakal.
Kecurigaan saya tidak terbukti. Dalam mobil menuju masjid untuk shalat maghrib, sang teman mengatakan bahwa dia tetap memiliki rencana, tapi setelah rencana itu diset, dia tak lagi terlalu peduli dan memikirkannya. Rencana itu ada di sana, tapi bukan untuk membuatnya sibuk oleh masa depan.
Susah mencernanya?
Mari kita buat analogi dari Piala Dunia. Mungkin bisa diambil dari goal Luka Modric pada menit 80 saat melawan Argentina. Modric mencetak gol dari luar kotak penalti, dari jarak sekitar 22 meter. Sebuah tendangan melengkung berhasil memperdaya kiper Argentina, Willy Caballero.
Jika sempat, coba putar rekaman gol kedua dari tiga gol Kroasia malam itu (untuk fans Argentina, sebaikanya tidak menonton ulang gol memilukan itu). Dari rekaman tersebut kita bisa melihat bagaimana pandangan Modric saat menendang bola. Meski dia harus menceploskan bola tepat ke dalam gawang, Modric tidak melihat gawang saat menendang. Ia fokus pada bola dan kakinya. Begitu bola melayang, baru ia memandang ke arah gawang.
Ini bukan hanya dilakukan oleh Modric. Semua pemain bola melakukan hal yang sama. Terlalu berkosentrasi pada gawang dan melupakan bola akan celaka. Bisa-bisa luput menendang dan terlihat bodoh di hadapan ratusan juta umat manusia.
Gawang adalah perumpamaan dari target hidup kita. Sesuatu yang menjadi tujuan semua rencana kita. Tapi, untuk bisa membuat gol, kita tidak bisa terus menerus melihat gawang. Kosentrasi kita adalah kini dan di sini (here and now). Bola dan kaki adalah kekinian dan kesinian. Fokus pada itu. Tentu saja, kita tidak bisa melupakan letak gawang sama sekali, karena itu juga bodoh. Yang penting kita tahu di mana target berada, lalu fokuslah pada saat ini.
Selanjutnya, serahkan pada alam dan Tuhan untuk mengaturnya. Ada banyak hal yang bisa membuat bola itu tidak masuk (tandukan lawan, angin, wasit yang terjebak dalam kemelut, dll). Ada juga banyak hal yang membuat bola yang seharusnya tidak masuk menjadi gol (tandukan lawan yang bodoh yang justru membuat gol bunuh diri, angin, wasit yang terjebak dalam kemelut).
Intinya, pasang target boleh, tapi setelah itu lupakan target, kerja keras untuk mewujudkannya, lalu tawakal. Ingat, kita dilarang tawakal sebelum bekerja keras sampai bonyok.
Artikel ini sudah tayang di Almuslim.co