Pesta Demokrasi Pilpres, Siap Mengaduh Hadapi Media Sosial yang Gaduh

Kamis, 23 Agustus 2018 12:22 WIB

Jokowi dan Prabowo kembali bertarung pada Pilpres 2019

TEMPO.CO, Jakarta - Pertarungan politik antara Jokowi dan Prabowo pada 2014 akan terulang kembali pada pemilihan presiden 2019. Hal ini dibuktikan saat keduanya resmi mendaftarkan diri sebagai bakal calon presiden.

Tahun ini Joko Widodo dan Prabowo Subianto memberikan kejutan dalam menentukan keputusan politiknya. Seperti yang kita ketahui, akhirnya Jokowi resmi memilih Ma’Ruf Amin dan Prabowo resmi memilih Sandiaga Uno. Hal tersebut membuat pemberitaan di media ramai. Banyak pro-kontra atas keputusan tersebut.

Sebelum diputuskannya calon wakil presiden masing-masing, pada umumnya, sosok yang digadang-gadang di media adalah sosok yang berbeda dengan hasil keputusan akhir. Nama yang muncul di pemberitaan media adalah Mahfud Md dan AHY. Namun akhirnya nama-nama tersebut hanya muncul di permukaan.

“Pada Akhirnya Yang Digadang-Gadang, Akan Kalah dengan Kepentingan Partai Politik”.

Kepentingan partai politik akhirnya menjadi penentu keputusan politik akhir dari Jokowi dan Prabowo. Saat digelarnya rapat koalisi dengan berbagai lobi politik yang diajukan untuk mendampingi Jokowi, akhirnya berhenti pada nama Ma'ruf Amin. Setelah petahana mendaftar, Prabowo, yang awalnya dikabarkan akan berpasangan dengan AHY, akhirnya memutuskan bersanding dengan Sandiaga Uno. Keputusan sudah dibuat oleh masing-masing kubu dengan dinamika politiknya. Tentu saja ini untuk menyambut pesta demokrasi 2019. Warga mengenakan topeng pasangan Capres Cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno saat melakukan aksi di Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah, Jumat, 10 Agustus 2018. Aksi tersebut sebagai bentuk suka cita dan dukungan masyarakat kepada kedua pasangan Capres-Cawapres dalam Pilpres 2019. ANTARA/Mohammad Ayudha

Advertising
Advertising

Sebelum menyambut pesta demokrasi yang akan berlangsung tahu depan, kita perlu belajar dari Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017 yang kental isu SARA. Isu SARA bukanlah hal baru bagi Indonesia. Kalo melihat sejarah bangsa ini, struktur masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa, agama, dan adat istiadat. Sungguh mencerminkan negara majemuk. J.S Furnivall mengungkapkan, masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda adalah masyarakat majemuk (plural society); tanpa ada asimilasi pada kesatuan politik dan adanya kehendak bersama (common will).

Pembaruan pada masyarakat Indonesia yang pluralis, dimungkinkan terjadi setelah adanya perkawinan silang. Hal ini seharusnya membuat kita belajar bahwa isu SARA bukan senjata nomor satu dalam pertarungan politik.

Isu SARA memang sudah ada sejak Orde Lama. Pada 1959, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 10/1959. Isinya melarang orang-orang Tionghoa berdagang di tingkat kabupaten ke bawah. Akibatnya, ratusan ribu orang Tionghoa terpaksa melakukan repartriasi ke RRC. Para komandan militer (Angkatan Darat), khususnya di Jawa Barat, melarang orang Tionghoa bertempat tinggal di perdesaan.

Konsep pemerintah mengenai nasionalisasi perusahaan sungguh meminggirkan golongan etnis Tionghoa. Hal itu mengakibatkan lebih dari 100 ribu orang Tionghoa meninggalkan Indonesia selama 1960-1961. Mayoritas mengalami kesengsaraan. Hal ini pun dikaitkan dengan “intrik-intrik” politik negara Indonesia dan Cina. Serta timbul peningkatan teror di perbatasan-perbatasan Indonesia. Misalnya pada 1963, terjadi kerusuhan rasial yang pecah di Jawa.

Isu SARA juga masih terjadi di masa pemerintahan Orde Baru yang mebuat etnis Tionghoa mengalami diskriminasi rasial serta kehilangan Hak Asasi Manusia. Mengeluarkan kebijakan penandaan khusus pada Kartu Tanda Penduduk: itu buktinya. Etnis Tionghoa tidak boleh menjadi PNS/TNI. Lebih lagi, muncul larangan etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di perdesaan.

Pada puncak reformasi, pecah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan Solo. Banyak korban tewas. Pemerkosaan terhadap perempuan keturunan Tionghoa, yang mengakibatkan sekitar 5.000 warga keturunan Tionghoa Indonesia melarikan diri ke luar negeri, terjadi.

Pasca reformasi, isu SARA masih menjadi senjata politik yang kuat untuk mendapatkan kekuasaan. Ditambah dengan keberadaan media sosial yang membuat suatu informasi begitu cepat beredar di masyarakat. Terlihat dengan menguatnya isu SARA pada pemilu 2014 dan 2017 yang merupakan perjalanan sejarah dan pelajaran bagi demokrasi bangsa ini.

Isu SARA merupakan isu yang paling mudah untuk menimbulkan konflik horisontal. Seperti yang dikutip dari hasil penelitian LIPI pada April-Juli 2018 mengenai “Pemetaan kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan menjelang pemilu serentak 2019: dalam rangka penguatan demokrasi". Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa tindakan persekusi di kalangan masyarakat disebabkan oleh penyebaran berita hoax (92,4 persen), ujaran kebencian (90,4 persen), radikalisme (84,2 persen), kesenjangan sosial (75,2 persen), perasaan terancam oleh orang atau kelompok lain (71,1 persen). Sedangkan aspek "religiusitas" (67,6 persen) dan ketidakpercayaan antarkelompok/suku/agama/ras (67,6 persen).

Saat ini, isu SARA seperti sebuah komoditas baru dalam lingkaran pemilihan umum untuk mencapai kekuasaan. Bahkan, sebelum pemilu berlangsung, konflik horisontal sudah terjadi di kalangan elit bangsa ini. Koalisi Jokowi belajar dari pengalaman untuk tidak lagi menjadi target isu SARA oleh oposisi. Hal ini ditunjukkan dengan terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi.

Koalisi yang mendukung Jokowi ingin menepis isu SARA dengan menggandeng sosok yang religius. Dengan dideklarasi Jokowi-Ma'ruf Amin, ini menyulitkan pasangan calon tertimpa isu SARA. Sebab, mereka merupakan pasangan nasionalis-religius.

Hal ini menunjukkan bahwa di kalangan elit politik terjadi konflik horisontal. Narasi-narasi politik SARA sudah beradu senjata sejak ratusan hari yang lalu di media sosial.

Buzzer politik sudah siap siaga untuk menghadapi pesta demokrasi. Hal ini akan terus berlangsung dan menjadi pupuk yang subur untuk netizen apabila ada kepercayaan yang tinggi tanpa mengetahui kebenaran. Apabila semua itu terus tumbuh subur, kita tidak akan pernah melihat pertarungan gagasan/program kerja.

Hal itu menjadi 'tidak penting' karena isu SARA menjadi nomor satu dalam pembicaraan politik bangsa ini. Karena itu, netizen perlu menghadapi para buzzer politik dengan lebih cerdas. Tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang memiliki banyak tendensi SARA ataupun pemberitaan tidak jelas asal-usulnya.

Pilpres 2019 akan datang. Banyak yang berharap isu SARA bukan menjadi barometer pemilih untuk menentukan pilihannya. Sebab, pada umumnya, bangsa kita kaya akan perbedaan.

Siap-siap, media sosialmu akan gaduh kembali dibangdingkan dengan hari-hari biasanya!

Artikel ini telah tayang di Senjaksara

Berita terkait

Total Aset BFI Finance Indonesia Rp 24,2 Triliun per Kuartal I 2024

2 hari lalu

Total Aset BFI Finance Indonesia Rp 24,2 Triliun per Kuartal I 2024

BFI Finance mencatat laba bersih terkumpul pada kuartal I sebesar Rp 361,4 miliar.

Baca Selengkapnya

KPU Launching Pendaftaran PPK, Ternyata Segini Gajinya dan Ada Santunan

5 hari lalu

KPU Launching Pendaftaran PPK, Ternyata Segini Gajinya dan Ada Santunan

Ketua KPU Depok, Wili Sumarlin mengatakan Depok memiliki 11 kecamatan, sehingga kebutuhan PPK 55 anggota. Tiap kecamatan 5 orang.

Baca Selengkapnya

Gugatan Anies dan Ganjar Ditolak MK, Prabowo-Gibran Tetap Pemenang Pilpres 2024

5 hari lalu

Gugatan Anies dan Ganjar Ditolak MK, Prabowo-Gibran Tetap Pemenang Pilpres 2024

Prabowo-Gibran tetap menjadi Pemenang Pilpres 2024 setelah MK membacakan putusan yang menolak gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.

Baca Selengkapnya

Anies Minta Anak Muda Tak Putus Asa dengan Proses Politik

6 hari lalu

Anies Minta Anak Muda Tak Putus Asa dengan Proses Politik

Anies Baswedan menyampaikan terima kasih kepada anak-anak muda yang telah memberi warna baru pada pilpres kali ini.

Baca Selengkapnya

Potensi Terbelah Putusan Mahkamah Konstitusi

6 hari lalu

Potensi Terbelah Putusan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi dinilai sulit mengabulkan permohonan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud dalam sengketa pilpres 2024.

Baca Selengkapnya

Kilas Balik Sengketa Pilpres atau PHPU 2019, Putusan MK Tolak Seluruh Permohonan Prabowo - Sandiaga Uno

6 hari lalu

Kilas Balik Sengketa Pilpres atau PHPU 2019, Putusan MK Tolak Seluruh Permohonan Prabowo - Sandiaga Uno

Sengketa Pilpres 2024 tengah dibacakan MK. Pada PHPU 2019, putusan MK menolak seluruh permohonan Prabowo - Sandiaga Uno.

Baca Selengkapnya

Kilas Balik Putusan Sengketa Pilpres 2014 dan 2019

7 hari lalu

Kilas Balik Putusan Sengketa Pilpres 2014 dan 2019

MK akan membacakan putusan sengketa Pilpres 2024 pada Senin, 22 April 2024. Seperti apa putusan MK terkait sengketa Pilpres 2014 dan 2019?

Baca Selengkapnya

Ekonom Optimistis MK Benarkan Politisasi Bansos, Prediksi 3 Kemungkinan Putusan

9 hari lalu

Ekonom Optimistis MK Benarkan Politisasi Bansos, Prediksi 3 Kemungkinan Putusan

Ekonom yakin majelis hakim MK akan membenarkan adanya politisasi bansos dengan 3 kemungkinan putusan.

Baca Selengkapnya

Pria di Riau Edit Suara Hakim MK Soal Putusan Sengketa Pilpres, Tambah Narasi Selamat Pendukung 02

11 hari lalu

Pria di Riau Edit Suara Hakim MK Soal Putusan Sengketa Pilpres, Tambah Narasi Selamat Pendukung 02

Polda Riau menciduk seorang pria di Rokan Hilir Riau karena mengedit suara hakim MK soal putusan sengketa pilpres. Ada narasi jogetin aja.

Baca Selengkapnya

CEO Apple Tim Cook Bertemu dengan Prabowo Subianto, Apa yang Dibahas?

11 hari lalu

CEO Apple Tim Cook Bertemu dengan Prabowo Subianto, Apa yang Dibahas?

CEO Apple, Tim Cook, melakukan kunjungan ke kantor Menteri pertahanan Prabowo Subianto usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi kemarin.

Baca Selengkapnya