Afrika di Ujung Pulau Jawa
Reporter
Wahyu
Editor
Istiqomatul Hayati
Rabu, 12 September 2018 14:41 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sejauh mata memandang, padang rumput menguning pertanda musim kemarau. Di kejauhan, gerombolan hewan berkaki empat sedang asyik berkumpul. Sejumlah pohon pun juga menghiasi padang ini. Inikah Afrika?
Siang hari itu, rasa bosan muncul. Setelah menyusuri pantai sejauh 12 km, semua berkumpul di sebuahdesa yang bernama Kalipait. Entah mengapa namanya demikian. Suasana desa itu tak terlalu ramai. Cenderung sepi. Hanya beberapa warga berlalu lalang. Tak jelas apa yang hendak dilakukannya. Kemudian wacana terlempar.
“Ayo keluar lah. Kita foto-foto di Sadengan. Katanya bagus.” ucap saya kepada Satria.
“Ayoo! Pinjem motor dulu.” seloroh mengamini ajakan saya.
“Gampang. Pinjem aja motor Tole.” jawab saya sambil beranjak keluar dari teras rumah.
Sementara yang lain masih bersantai dan beristirahat bak turis di dalam rumah setelah bertualang di hutan rimba. Rumah yang beratapkan genteng berbahan tanah itu menampung sekitar 60 orang. Rumah tersebut terbagi dua bagian, masing-masing yaitu bagian dapur dan bagian rumah inti. Di bagian dapur, interior masih dapat dikatakan tradisional. Tiang-tiang penyangga terbuat dari kayu jati. Konon menurut empunya rumah, berasal dari hutan produksi di Alas Purwo di Taman Nasional Baluran, Banyuwangi. Untuk urusan memasak, masih menggunakan tungku kayu bakar. Lantainya pun masih dari tanah.
Sebuah motor produksi Jepang pun segera dinyalakan. Tak perlu diselah, cukup menekan tombol starter. Segera Satria menyergap naik. Kami berdua segera meluncur meninggalkan persinggahan. Matahari berada di titik kulminasinya membuat nyali agak ciut. Masih terngiang rasa terbakar oleh sinarnya kala menyusuri pantai. Namun beberapa saat setelah menyusuri jalan pedesaan, saya agak terhibur. Lipatan daun-daun pohon jati cukup menghambat datangnya sinar. Selain itu, proses respirasi menjadi maksimal. Semua berkat pepohonan rimbun di TN Alas Purwo yang menghasilkan oksigen.
Sebelumnya lagi-lagi saya harus membelah lebatnya hutan tertua di Pulau Jawa. Putaran roda agak melambat. Bukan karena macet seperti lalu lintas di Jakarta. Jalan berlubang memaksa saya untuk memperlambat laju sepeda motor. Cerita-cerita mistis mulai membaluri pikiran kami. Bukan rahasia lagi jika Alas Purwo terkenal dengan cerita mistisnya. Menurut warga sekitar dan orang-orang yang saya temui sepanjang perjalanan, mereka selalu bercerita tentang cerita tentang orang yang bertapa di tengah rimbunnya hutan Alas Purwo. Bahkan, mereka ada yang sampai 16 tahun bertapa di dalam gua. Bayangkan jika tiba-tiba saya tersasar di dunia gaib. Namun perasaan itu buru-buru saya usir dengan gelak tawa sepanjang perjalanan.
Hampir selama 30 menit, roda-roda motor melintasi jalan yang didominasi tanah gembur. Hanya sedikit aspal. Di kiri kanan jalan hanya ada pepohonan yang menjulang tinggi. Sesekali dapat bertemu dengan warga sekitar. Kepala dianggukkan seraya mengucapkan permisi. Satu-satunya warung hanya dapat ditemukan di sebelah kiri jalan sebelum memasuki Pos Rowobendo. Itupun bukan seperti yang dibayangkan. Tak ada lampu yang menyala terang benderang. Hanya menggunakan satu lampu bohlam. Atapnya pun nyaris rubuh. Sudah pasti tiang-tiang penyangganya berasal dari kayu-kayu pohon di Alas Purwo.
“Ini pusing juga ya Sat kalo ban bocor di tengah hutan ini.” seloroh saya kepada Satria.
“Iya. Dorongnya PR juga. Belom kalo malem bocornya. Huh.” jawabnya sambil tertawa.
“Langsunglaah yok.” ajak saya sambil tancap gas ketika memasuki jalan yang beraspal.
Seekor replika burung merak bertengger di sebuah gapura berwarna hijau. Kiri-kanannya dikawal batu-batu mirip candi. Di tengahnya bertuliskan “Selamat Datang di Taman Nasional Alas Purwo”. Jelas ini adalah gerbang masuk dekat Pos Rowobendo. Untuk sekali dan seumur hidup, saya berfoto di gapura tempat pusat mistis di Pulau Jawa ini. Perbincangan mistis kembali bergulir bak putaran bola di lapangan hijau. Apakah benar ini pintu masuk menuju dunia gaib yang dulunya membuat manusia mati? Ah saya bukan ingin pergi ke dunia gaib. Saya ingin pergi mengunjungi Sadengan. Yang banyak orang bilang seperti di Afrika.
Sebelum saya menuju Sadengan, sebentar mampir ke sebuah aula di dekat Pos Rowobendo. Tak jauh dari situ pula terdapat persimpangan jalan menuju ke Pantai Ngagelan, tempat 4 dari 6 jenis penyu Indonesia mendarat dan bertelur. Namun saya tak sempat mampir ke sana melainkan di sini untuk menjemput dua orang teman yang sedang bertugas menjadi tim komunikasi untuk tim penelitian di Situs Gunung Tugu. Di depan pelataran aula, terparkir dua buah motor operasional TN Alas Purwo. Modelnya semi trail. Ban depannya lebih besar daripada ban belakang. Motor besutan Shozo Kawasaki ini segera menjadi tunggangan kami berempat. Tak banyak pikir, kami pun segera tancap gas.
Kini, saya dan Satria tak perlu risau lagi akan kesepian melintasi hutan. Gelak tawa makin ramai. Perbincangan sempat terhenti kala melewati kompleks Situs Kawitan dan Pura Luhur Giri Salaka. Kami kembali melingsirkan wacana untuk mampir.
“Ini pura yang terkenal itu tuh. Katanya yang tertua.” ucap saya sambil menunjuk Situs Kawitan.
“Nanti aja. Pulang dari Sadengan.” jawab Satria.
“Okelaah.” ujar saya sambil kembali membetot gas.