Meskipun masih terbilang pagi, masjid ini sudah sangat ramai. Parkiran kendaraan terisi penuh, bahkan terpaksa harus parkir dibadan jalan di sekitanya. Selain mereka yang hendak ke masjid, banyak dari yang lainnya datang untuk berolah raga dan bermain di area alun-alun yang tepat berada di depan masjid. Jadi, memang jika hari minggu pagi, banyak orang berdatangan ke tempat ini. Super ramai!
Kuliner Nasi Jamblang, Empal Gentong, Nasi Lengko
Untuk masalah kuliner sendiri, Cirebon ternyata menyimpan banyak menu kuliner yang khas dan lezat, selain tahu gejrot yang sudah lebih dahulu terkenal. Saat di Cirebon saya mencoba beberapa kuliner andalan kota ini, yaitu Nasi Jamblang, Empal Gentong, dan Nasi Lengko. ‘Dua hari satu malam di Cirebon cuma nyoba tiga makanan? kurang banyak cuy. Porsinya dikit pula!
“Iya sedikit, karena timbunan lemak sudah terlalu banyak di badan.”
Nasi Jamblang itu sebenarnya nasi biasa yang disajikan dengan berbagai lauk pauk yang bisa kita pilih sesuka hati. Bedanya terletak pada daun jati yang menjadi alas dari sajian ini. Kalau biasanya alas tuh rata-rata menggunakan daun pisang, nah ini pakai daun jati. Kata ‘Jamblang’ sendiri berasal dari nama Desa Jamblang di pinggiran Cirebon.
Makanan khas lainnya adalah Empal Gentong. Makanan ini mirip seperti soto santan sih menurut saya, karena isinya berupa potongan daging, jeroan, dan irisan seledri. Berikutnya yang tak kalah enak adalah Sega Lengko atau Nasi Lengko. Makanan ini tuh semacam nasi campur dengan potongan tahu dan tempe goreng, toge, timun dicacah, dan irisan seledri. Kemudian disiram bumbu kacang di atasnya, serta tak ketinggalan kerupuk. Terdapat pilihan lauk untuk menemani kelezatan Nasi Lengko yang rasanya mirip pecel ini.
Goa Sunyaragi
Meskipun masih pagi, udara di Cirebon cenderung panas. Saya tiba sekitar pukul 9 pagi di salah satu tempat wisata sejarah yang terkenal di Cirebon, Gua Sunyaragi namanya. Nama tersebut berasal dari Bahasa Sanksekerta yaitu ‘Sunya‘ artinya sepi dan ‘Ragi‘ artinya raga, sehingga berarti raga yang sepi. Gua yang memiliki nama lain Tamansari Gua Sunyaragi ini merupakan tempat peristirahatan dan meditasi dari Sultan Cirebon dan keluarganya.
Merupakan Cagar Budaya, tempat ini memiliki luas sekitar 15 hektar yang terbagi menjadi dua bagian yaitu, pesanggrahan dan gua. Untuk guanya sendiri terdiri dari Gua Peteng, Gue Pande Kemasan, Gua Pawon, Gua Pengawal, Gua Padang Ati, Bangsal Jinem, dan Mande Beling. Semua tempat tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda. Kalau kamu penasaran, datang saja ke sana dan gunakan jasa pemandu yang tersedia ya. Sehingga liburannya dapat, pengetahuan pun bertambah.
Awalnya saya akan menggunakan pemandu untuk menemani berkeliling, tapi karena voice recorder tertinggal, jadi saya putuskan untuk kembali lagi esok hari ke tempat ini untuk bertanya banyak perihal tempat yang memiliki bangunan yang unik ini. Pada bagian pagar dan pintu, tersusun dari batu bata merah layaknya peninggalan kerajaan mataram di Yogyakarta, tapi pada bagian goa, bangunan megah tersebut dilapisi dengan karang-karang. Jadi seperti perpaduan antara bangunan Mataram, Jawa, dan Tionghoa.
Ketika menyusuri gua ini, saya melihat beberapa dupa yang terselip dan masih menyala. Saat itu pula saya baru tersadar sedang berada ditempat yang kemungkinan menjadi tempat suci untuk ajaran tertentu. Dalam hati saya mengucap salam dan permisi untuk bisa melihat-lihat tempat ini. Hingga ketika lelah berkeliling saya bergabung duduk di sebuah gazebo untuk berbincang-bincang dengan petugas yang sedang berjaga.
Kami terlibat obrolan bukan lagi pada keberadaan tempat ini, melainkan hakikat keberadaan kita di muka bumi ini. Hakikatnya menjadi manusia yang membawa manfaat. Menjadi pribadi yang lebih baik, yang mencintai Tuhan dan keluarga. Serta agar menjadi sosok yang bisa menjadi inspirasi untuk sesama. Salah satu percakapan yang akan selalu diingat adalah mengenai arti nama saya. ‘Nunuz’ kata yang berasal dari Bahasa Arab yang berarti TURUN, menjadi hal lain ketika mereka representasikan.
“Nama saya Nunuz,” saya mengenalkan diri.
“Itu nama…”
Belum juga si bapak usai bertanya, saya sudah bisa menebak arah pertanyaannya. ” Itu nama panggilan, tapi nama asli loh. Artinya Turun.” saya menjelaskan.
“Pantas saja kamu itu anaknya nurut.” ungkap Sang Bapak di sana.
“Turun Pak bukan Nurut.” sanggah saya.
“Iya, Turun, Nurut.”
Saat itulah saya tahu bahwa ada doa lain yang terselip dari nama Eneng Nunuz Rohmatullayaly selain “Turunnya Rahmat Di Waktu Malam”. Mungki hal tersebut adalah harapan almarhum kakek saya untuk kemudian hari selain menjadi rahmat, saya pun menjadi anak yang memiliki bakti terhadap orang tua.
Museum Trupark, Semua Tentang Batik Cirebon
Tempat terakhir dan yang sebenarnya paling ingin saya kunjungi adalah Desa Trusmi. Desa yang namanya saya tahu ketika membaca buku “Urang Kanekes” karya Don Hasman dan Filomena Reiss. Saya mengarahkan peta ke sebuah lokasi bernama Batik Trusmi dengan harapan bisa sampai ke desa ini. Tapi ternyata salah, saya malah terdampar di suatu toko yang super besar dan merupakan sentra oleh-oleh batik Khas Cirebon.
Karena tak hendak berbelanja, saya hanya melihat-lihat sebentar dan kemudian bertanya pada Pak Satpam perihal tempat di mana saya bisa melihat ibu-ibu sedang membatik. Pak Satpam menyarankan saya untuk keluar gedung dan berbelok kearah kiri, karena persis dibelakang gedung, biasanya ibu-ibu sedang berdemo bagaimana cara membatik. Dengan semangat, saya bergegas keluar gedung. Namun sayang, saya tak bisa menemukan apa yang diceritakan Pak Satpam.
Saya malah menemukan sebuah gedung bertuliskan Museum Trupark, dengan berbagai karangan bunga yang bertuliskan ‘Selamat Atas Dibukanya Museum Trupak’ menghiasi pelatarannya. Pada seorang pria yang kebetulan melintas, saya bertanya apakah sudah bisa mengunjungi museum ini atau belum. Dan inilah kejutan berikutnya perihal Cirebon dengan Batik Trusmi yang melegenda dan mendunia.
Tulisan ini sudah tayang di Kelanaku