Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Apakah Kamu Siap Jadi Pasukan Tangkal Hoax?

image-gnews
Aktivis Ratna Sarumpaet mengenakan rompi tahanan setelah menjalani pemeriksaan di Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat, 5 Oktober 2018. Ratna Sarumpaet, tersangka penyebaran berita bohong atau <i>hoax</i> tentang penganiayaan dirinya, resmi menjadi tahanan Polda Metro Jaya hingga 20 hari. ANTARA FOTO/Reno Esnir
Aktivis Ratna Sarumpaet mengenakan rompi tahanan setelah menjalani pemeriksaan di Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat, 5 Oktober 2018. Ratna Sarumpaet, tersangka penyebaran berita bohong atau hoax tentang penganiayaan dirinya, resmi menjadi tahanan Polda Metro Jaya hingga 20 hari. ANTARA FOTO/Reno Esnir
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Kotak pencari Google akan memunculkan 116 ribu laman saat kita memasukkan frase cara menangkal hoax. Banyak sekali konten di Internet yang berisi anjuran-anjuran agar kita tak ikut menyebarkan hoax. Banyak juga konten yang mengajak kita bersama-sama melawan kabar kibul.

Semua saran dan anjuran itu berujung pada satu kata: “verifikasi”. Rupanya, Rocky Gerung jarang masuk Google, sehingga ia tak paham memakai kata ini ketika berbicara soal kabar bohong. Dalam sebuah ceramah, dosen filsafat UI ini mengejek mereka yang mempertanyakan mengapa Prabowo Subianto tak memverifikasi cerita Ratna Sarumpaet ketika ia mengaku dipukuli tiga lelaki pada 2 Oktober 2018.

“Bagaimana Pak Prabowo memverifikasi, sumber utamanya mengatakan begitu. Mau verifikasi ke mana?” katanya.

Jika Anda seorang wartawan, terlarang Anda mengikuti logika ini. Bagi Anda yang bukan wartawan sebaiknya juga tak mengamini logika ini.

Verifikasi adalah mengecek sebuah informasi kepada sumber lain yang relevan untuk mengkonfirmasi sebuah peristiwa. Sebab sebuah peristiwa pasti memiliki kronologi, waktu dan tempat, mungkin penyebab, dan para aktor. Para aktor yang terlibat dalam peristiwa itulah yang menjadi sumber-sumber verifikasi. Dalam jurnalistik, ada lima tingkatan narasumber yang harus ditanya untuk mendekati kebenaran fakta sebuah peristiwa:

1. Pelaku. Jika pelakunya sudah bicara atau pelakunya tidak ada, misalnya dalam perkelahian satu lawan satu keduanya tewas, verifikasi tetap harus dilakukan kepada narasumber nomor 2;

2. Saksi mata/dengar. Informasi dari dia atau mereka berfungsi untuk mengkonfirmasi apakah cerita pelaku tersebut sesuai dengan yang ia dengar atau lihat. Informasi keduanya juga bisa dipakai untuk saling mengoreksi. Jurnalistik meyakini setiap orang punya bias terhadap fakta yang diinformasikannya.

3. Yang tahu. Jika pelaku mati, saksi mata atau dengar juga tak ada, kita harus mencari mereka yang tahu kejadian itu. Mungkin keluarga salah satu pelaku, tentang peristiwa terakhir yang melibatkan mereka: pamitan, makan malam, dst.

4. Yang berwenang. Sebuah peristiwa yang layak ditayangkan media adalah peristiwa yang seharusnya diketahui publik. Biasanya, jika sudah punya unsur publik, “pihak yang berwenang” terlibat di dalamnya. Entah itu polisi yang menangani peristiwa kriminal, auditor yang menilai, atau penyidik KPK.

5. Pakar. Jika sumber 1-4 tidak ada karena kita mendengarnya dari bisikan angin (pasti tidak mungkin, kan?) baru ke pakar, atau ahli. Mungkin untuk analisis. Tapi, karena mereka tak terlibat, sebaiknya memakai pendapat ahli dibatasi. Sebab, dalam berita, yang utama adalah informasi, bukan pendapat atau analisis.

Bagi pembaca, pengetahuan tentang urut-urutan narasumber dalam berita ini juga penting untuk menentukan tingkat kepercayaan kita terhadap informasi tersebut. Dalam berita penganiayaan Ratna Sarumpaet, semua berita bersumber dari tim Prabowo, sumber sekunder. Jika info dari Ratna saja, sebagai sumber pada kategori “pelaku”, masih harus diverifikasi, apatah lagi dari orang lain yang hanya mendengar. Pembaca yang baik akan menimbang sebuah informasi dengan melihat narasumbernya, sebelum percaya atau tak percaya kepada beritanya.

Jika kita baca urut-urutan cerita Ratna Sarumpaet menurut orang-orang yang mendengar pengakuannya, kronologi ceritanya begini:

1. Pada 21 September 2018 malam, ia baru selesai mengikuti sebuah acara di Bandung lalu hendak pulang ke Jakarta. Dari tempat seminar ke bandara Husein Sastranegara ia naik taksi bersama pembicara lain dari Malaysia dan Srilanka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

2. Ketika turun dari taksi tiga laki-laki menyeretnya lalu memukulinya di tempat agak gelap. Dua pembicara dari negara lain itu ternyata lari (mungkin karena takut).

3. Setelah dipukuli, Ratna dilempar ke pinggir jalan.

4. Sopir taksi menolongnya, tapi ia kurang beradab. Dia menurunkan Ratna yang babak belur itu begitu saja di pinggir jalan di Cimahi.

6. Ratna dirawat seorang dokter kenalannya di Cimahi.

Dari kronologi ini, jelas terlihat para aktor yang terlibat:

  1. Orang Malaysia dan Srilanka. Status: saksi mata/dengar. Seharusnya ia bisa ditelepon karena berkenalan di acara seminar itu. Karena kejadiannya sudah sepuluh hari lewat, mungkin mereka sudah pulang, tapi telepon ke luar negeri sekarang sangat mudah.
  2. Sopir taksi. Status: saksi mata/dengar. Okelah, mungkin susah melacak sopir taksi. Apalagi Ratna lupa perusahaan taksi dan nama sopirnya, kecuali dia memakai taksi aplikasi yang tercatat di teleponnya.
  3. Dokter. Status: saksi mata/dengar. Dokter yang bukan gadungan, pasti punya nomor telepon dan lokasi klinik atau tempat berpraktik. Dialah narasumber yang paling mungkin bisa dikontak untuk verifikasi: benarkah ia merawat Ratna pada 21 September 2018 dan benarkah luka-luka itu akibat pukulan benda tumpul?
  4. Kalau mau rada mengulik, cek ke petugas bandara: benarkah ada penerbangan malam dari Bandung ke Jakarta? Jika tak punya nomor teleponnya, bisa dicek ke Google dengan kata kunci jadwal pesawat Bandung-Jakarta,
  5. Polisi. Status: yang berwenang. Tapi rupanya polisi belum menerima laporan penganiayaan itu. Jadi, ia tak diperlukan atau hanya diperlukan untuk menegaskan penganiayaan itu belum ditangani pihak yang berwenang.

Semua cek dan ricek di atas mungkin tak sampai memakan waktu satu jam. Setelah itu kita bisa melangkah ke tahap berikutnya: percaya atau tidak percaya terhadap informasi tersebut.

Pada dasarnya otak manusia mudah dimanipulasi karena secara alamiah otak kita terkena banyak bias. Salah satu bias itu, seperti kata Daniel Kahneman dalam Thinking, Fast and Slow, adalah sindrom WYSIATI—what you see is all there is. Ini bias lumrah dalam pikiran manusia, yakni mengambil kesimpulan berdasarkan informasi yang tersedia.

Jika informasinya lumayan komplit, kesimpulan dan keputusan serta tindakan kita mungkin tak terlalu keliru. Yang celaka adalah jika informasi atas fakta yang kita hadapi itu sangat sedikit. Bias WYSIATI berkait dengan kebiasaan kita pada jumping to conclusion dan bias konfirmasi—kita percaya/tak percaya karena informasi tersebut kita suka/tak suka. Kita percaya begitu saja sebuah informasi karena kita suka mendengarnya. Sebaliknya kita jadi ragu karena tak ingin mendengarnya atau tak suka pada pembawa beritanya.

Bias WYSIATI bisa dikurangi dengan latihan. Para pialang saham di bursa, terlatih memutuskan beli atau lepas saham dengan informasi yang selintas dan sedikit. Mereka terlatih memutuskan dalam waktu cepat karena setiap menit membuat keputusan seperti itu tiap hari. Tapi, menurut Kahneman, ini pun tetap bias. Namanya “expert biases” atau bias ahli. Hanya karena dia sudah paham akibat melakukannya berulang-ulang maka ia membuat keputusan tanpa mencari informasi tambahan, lalu merasa tak ada yang keliru. Mereka yang sadar akan potensi bias ini akan menyisakan ruang, “apa yang tidak saya tahu?”

Seorang staf HRD bisa tahu seorang calon karyawan akan berdedikasi atau tidak setelah bekerja dalam 5 menit wawancara. Ia terlatih mengenali calon karyawan dari gaya dan cara berbicara, lirikan mata, gestur, dst. Apakah pasti ia benar? Belum tentu. Kahneman malah menganjurkan kita mesti lebih percaya algoritma ketimbang intuisi manusia. Sebab, algoritma lebih presisi karena ia tak punya bias otak mamalia.

Tulisan ini sudah tayang di Catataniseng

Iklan

Berita Selanjutnya



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Sederet Kontroversi Ratna Sarumpaet, Terbaru Keluar Pakai Mobil saat Perayaan Nyepi di Bali

6 hari lalu

Ratna Sarumpaet saat memberikan keterangan pers di kediamannya di Jalan Kampung Melayu Kecil V, Jakarta, Kamis, 26 Desember 2019. Ia divonis dua tahun penjara yang diterimanya untuk dakwaan menyebarkan berita bohong alias hoax.  TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Sederet Kontroversi Ratna Sarumpaet, Terbaru Keluar Pakai Mobil saat Perayaan Nyepi di Bali

Ratna Sarumpaet kembali menjadi perbincangan publik lantaran aksinya keluar rumah dengan mobil saat perayaan Nyepi di Bali.


Cegah Termakan Hoax Soal Infertilitas, Edukasi Diri dengan Informasi Penting Ini

10 hari lalu

PT Merck Tbk, (Merck) perusahaan sains dan teknologi di bidang kesehatan, dan Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia (PERFITRI) berkolaborasi memperbarui situs MauPunyaAnak.id/Tempo-Mitra Tarigan
Cegah Termakan Hoax Soal Infertilitas, Edukasi Diri dengan Informasi Penting Ini

Pakar fertilitas dari RSCM ingatkan pentingnya edukasi diri soal kesuburan agar tercegah termakan isu hoax soal infertilitas.


Le Minerale Jadi Korban Persaingan Bisnis Tak Etis

13 hari lalu

Le Minerale Jadi Korban Persaingan Bisnis Tak Etis

Le Minerale dapat menangkis berbagai serangan terkait keamanan dan mutu produknya dengan menggambarkan ketaatan perusahaan


Produsen yang Dirugikan oleh Hoaks Influencer Bisa Tempuh Jalur Hukum

13 hari lalu

Produsen yang Dirugikan oleh Hoaks Influencer Bisa Tempuh Jalur Hukum

Upaya terus-menerus dari sejumlah pihak untuk memojokkan Le Minerale sejatinya tak lebih dari persaingan bisnis yang tidak etis.


Influencer Pembuat Konten Penyebar Hoaks Bisa Dibawa ke Ranah Hukum

13 hari lalu

Influencer Pembuat Konten Penyebar Hoaks Bisa Dibawa ke Ranah Hukum

Masyarakat diminta agar selalu bersikap cermat dan bijak di jagad maya


Adu Kemampuan Gemini AI vs ChatGPT, Mana yang Unggul?

28 hari lalu

Gemini (Google)
Adu Kemampuan Gemini AI vs ChatGPT, Mana yang Unggul?

Persaingan Gemini AI milik Google dan ChatGPT dari OpenAI semakin ketat. Keunggulan apa yang dijual keduanya?


Tips Jadi Orang Tua Bijak di Zaman Teknologi Digital

29 hari lalu

Ilustrasi ibu mengawasi anaknya bermain gadget. shutterstock.com
Tips Jadi Orang Tua Bijak di Zaman Teknologi Digital

Tanggung jawab orang tua saat ini tak hanya memenuhi kebutuhan pokok anak tapi juga mewaspadai penggunaan teknologi digital, terutama lewat gawai.


Tim Peneliti BRIN di Bandung Kembangkan Kursi Roda Otonom yang Bisa Pakai Aplikasi

31 hari lalu

Uji coba purwarupa Seater oleh tim peneliti BRIN di Kawasan Sains dan Teknologi (KST) Samaun Samadikun, Bandung. (Dok.BRIN)
Tim Peneliti BRIN di Bandung Kembangkan Kursi Roda Otonom yang Bisa Pakai Aplikasi

Alat transportasi ini seperti kursi roda yang bisa beroperasi secara mandiri di kawasan khusus. Tim BRIN bidik harga jual unitnya Rp 50-100 juta.


Samsung Dorong Teknologi 6G di Kolaborasi NexG Princeton University

33 hari lalu

Ilustrasi jaringan teknologi 6G. Shutterstock
Samsung Dorong Teknologi 6G di Kolaborasi NexG Princeton University

Samsung memprediksi kalau aplikasi komersial pertama dari teknologi internet 6G akan datang pada 2028.


Temukan Ratusan Pelanggaran Konten Internet, Bawaslu: Terbanyak Ujaran Kebencian

35 hari lalu

Ilustrasi aplikasi media sosial di telepon genggam/hyppe
Temukan Ratusan Pelanggaran Konten Internet, Bawaslu: Terbanyak Ujaran Kebencian

Anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty mengungkap pihaknya menemukan sebanyak 355 pelanggaran konten internet.