TEMPO.CO, Jakarta - Banyak orang tua yang belum memahami membentak dan berteriak kepada anak itu merupakan kekerasan verbal. Orang tua menganggap membentak dan berteriak itu hanya salah satu cara berkomunikasi kepada anak. Masih banyak orang tua yang melakukannya, termasuk saya.
Dari mulai membangunkan anak-anak di pagi hari, menyuruh mereka bersiap ke sekolah, tidak menaruh sepatu sembarangan ketika pulang sekolah, saat menyuruh mereka belajar, menyuruh mereka makan, hingga bersiap tidur. Hampir semua perintah itu kita berikan dengan nada tinggi, terutama saat mereka susah menuruti apa yang kita katakan.
Padahal, membentak dan berteriak berdampak sangat buruk pada anak. Hal itu bisa menurunkan kepercayaan diri mereka, hingga membuat mereka depresi. Sebuah kajian yang dimuat di Journal of Child Development pada 2014 menunjukkan bahwa efek yang ditimbulkan oleh bentakan sama merusaknya seperti efek hukuman fisik, yaitu meningkatkan kegelisahan, stres, depresi. Bahkan, bukannya mendisiplinkan anak, bentakan dan teriakan akan membuat anak justru punya masalah perilaku.
Tapi, mungkin kita membela diri: “Habis, bagaimana lagi, dikasih tahu baik-baik dan dengan suara lembut enggak mau nurut. Ya harus dibentak.” Saya juga terkadang punya pembelaan yang sama. Ketika merasa bersalah telah membentak anak, kalimat itu saya katakan kepada diri sendiri.
Alan Kazdin, seorang profesor psikologi dan psikiater anak di Yale University mengatakan bahwa bentakan dan teriakan itu tidak akan berhasil membuat anak disiplin. Bentakan dan teriakan hanya berguna untuk melepaskan kekesalan yang ada dalam dada orangtua. “Kalau tujuan membentak adalah untuk melepaskan emosi, ya itu efektif. Tapi, kalau untuk mendidik dan mendisiplinkan anak, berteriak dan membentak tak akan pernah berhasil,” kata dia.
Lalu bagaimana harus mendisiplinkan mereka kalau tidak bisa dikasih tahu baik-baik? Kazdin punya Metode ABC (antecedents, behaviors,consequences). Antecedent adalah mempersiapkan anak sebelumnya, memberitahu mereka. Behavior adalah membentuk kebiasaan yang dicontohkan oleh orangtua. Yang terakhir adalah konsekuensi, yaitu memberi pujian kepada anak ketika mereka melakukan apa yang sesuai dengan yang kita inginkan.
Jadi, daripada marah-marah saat anak meletakkan tas dan sepatu sembarangan ketika pulang sekolah, sebaiknya memberitahu mereka baik-baik dan berkesan saat sebelum sekolah. Contohkan bagaimana meletakkan sepatu yang benar (oh, saya adalah contoh yang buruk dalam hal ini). Ketika pulang sekolah dan dia meletakkannya dengan benar, kasih pujian, peluk dia jika perlu.
Sayangnya, seringkali saat anak melakukan hal yang positif, kita menganggapnya wajar dan sudah seharusnya, jadi gak perlu dipuji dan diberi reward. Tapi, saat anak melenceng sedikit saja, orang tua memberi hukuman. Menurut Kazdin, manusia memang cenderung memperhatikan hal negatif. Tapi, bagi anak, ini adalah merupakan ketidakadilan. Nah, tentu orang tua perlu menata cara berkomunikasi kepada anak.
Tulisan ini sudah tayang di Almuslim